Kamis, 11 Desember 2014

KARAKTER SEPERADIK

KARAKTER SEPERADIK


Apa kabar Pancasila ? Apa kabar generasi muda Indonesia ? Kenapa penulis ajukan dua pertanyaan di atas ? Jawabannya sederhana dan singkat, keduanya adalah masa depan bangsa. Pancasila berisi nilai-nilai luhur bangsa yang harus menjadi tuntutan bagi generasi muda untuk menghadapi tantangan kedepan yang makin kompleks. Persoalan tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri bangsa ini, bahkan disekitar lingkungan kita. Coba amati bagaimana perilaku sebagian generasi muda kita saat ini yang mulai cenderung rapuh dan minim karakter.

Bukti nyata yang menunjukkan kondisi tersebut antara lain terlihat dari beberapa perilaku sebagai berikut: Pertama, kebiasaan mencontek anak didik kita yang akan membentuk karakter tidak jujur dan memilih jalan singkat yang keliru untuk mencapai sebuah tujuan. Kedua, maraknya geng-geng motor yang anarkis dan aksi tawuran antar pelajar, antar mahasiswa bahkan antar kelompok pemuda masyarakat. Fenomena ini menunjukkan pendekatan kekerasan dan anarkis telah menjadi prioritas dalam penyelesaian masalah yang terkadang sepele. Akibatnya pun tidak hanya memunculkan konflik sosial dimana-mana bahkan dendam berkelanjutan, tetapi juga kerugian materil dan sampai jatuhnya korban jiwa meninggal dunia.

Ketiga, pergaulan bebas yang sudah menjadi bagian dari lifestyle generasi muda. Yang tidak ikut gaya hidup ini dicap tidak modern dan tidak gaul. Ini menujukkan lemahnya pemahaman agama, moral dan secara sosial terjadi penurunan kualitas kontrol sosial dan pandangan publik terhadap batasan-batasan kesusilaan yang telah bergeser. Akibat pergaulan bebas menyebabkan anak didik harus putus sekolah karena hamil atau harus menikah dini, praktek aborsi meningkat, kasus bayi dibuang karena tidak diinginkan, HIV/AIDS, dll.

Keempat, rapuh. Karakter negatif yang satu ini awalnya penulis cukup bingung memilih kata yang tepat. Namun sebagai contoh terhadap hal ini adalah kisah nyata dimana ada anak SD dinegeri ini yang naik ke tower untuk bunuh diri hanya karena cintanya ditolak. Bagaimana pendapat pembaca tentang kisah ini? Cinta monyet membuat si bocah ini begitu rapuh, lemah dan mudah menyerah. Padahal jalan hidupnya masih panjang dan butuh perjuangan pantang menyerah yang luar biasa dan bukan rela berkorban nyawa hanya karena putus cinta.

Kelima, minuman keras dan narkoba kini telah banyak meracuni pemuda pemudi kita. Keduanya menjadi “pelarian” dan juga gaya hidup kekinian. Kebiasaan kumpul-kumpul dan kongko kongko lalu mabuk-mabukan dan mengkonsumsi narkoba harus dihindari dan dijauhkan melalui kontrol keluarga dan sosial, serta mengalihkannya pada kegiatan-kegiatan positif, kreatif dan inovatif.

Kelima fenomena yang terjadi didepan mata kita ini mungkin sebagian saja persoalan yang kita hadapi. Kementerian Pemuda dan Olahraga mengidentifikasikan 10 masalah generasi muda saat ini, yaitu budaya kekerasan, tidak jujur, tidak menghormati orang tua, guru dan pemimpin, rasa kebencian dan saling curiga, penggunaan Bahasa Indonesia memburuk, perilaku menyimpang (narkoba, freesex), lemahnya idealism dan nasionalisme, pragmatis & hedonis, kaburnya pedoman moral dan acuh terhadap ajaran agama.

Karakter Pancasila


Berbagai persoalan di atas menunjukkan lemahnya karakter generasi muda dan ini harus menjadi persoalan bersama. Sebenarnya Pancasila dengan sila-silanya yang mengandung nilai-nilai sekaligus menunjukkan karakter bangsa, termasuk pula generasi muda. Apakah persoalan-persoalan di atas menunjukkan Pancasila telah dilupakan ? Silahkan pembaca menjawabnya.

Karakter-karakter yang terkandung dalam Pancasila dalam setiap silanya menurut penulis dapat dituangkan secara konkrit dalam perilaku-perilaku positif sebagai berikut: Sila Pertama, menjalankan ibadah dan ajaran agama, bergaul tidak membedakan agama, etnis dan suku, serta sikap toleransi. Sila Kedua, tidakmencontek, disiplin waktu, anti tawuran dan narkoba, serta mau bekerjasama. Sila Ketiga, mengutamakan kepentingan bersama, menghargai perbedaan, belajar sejarah dan berbahasa Indonesia yang baik. Sila Keempat, penyelesaian masalah melalui musyawarah, utamakan mufakat, pemilihan ketua kelas, Osis, Senan, BEM secara demokratis. Sila Kelima, membantu teman yang kesusahan, melaksanakan kerja bakti/bakti sosial, menjaga kebersihan sekolah/kampus dan lingkungan rumah, serta tidak konsumtif dan bergaya hidup mewah. Berbagai perilaku yang mengandung karakter Pancasila tersebut apabila mulai dijalankan kiranya dapat menjadi benteng terhadap berbagai persoalan yang diungkapkan di atas. Mencegah lebih baik daripada mengobati.

Karakter SEPERADIK


Berdasarkan karakter-karakter Pancasila di atas, dalam rangka memudahkan internalisasinya perlu dilakukan banyak pendekatan. Salahsatunya dengan menyederhanakannya agar mudah dipahami dan merumuskannya dalam sebuah kata yang dekat dengan nilai-nilai lokal agar mudah diimplementasikan karena memang sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Terhadap karakter Pancasila bagi generasi muda di Bangka Belitung misalnya, penulis mencoba merumuskan dalam kata “SEPERADIk” yang lekat dalam kehidupan sehari-hari dan juga memiliki makna persaudaraan. SEPERADIK ini mengandung karakter sila-sila Pancasila dengan gabungan kata “SEmangat, PEduli, RAmah, DIsiplin dan Kompak. Kelima karakter ini merupakan representatif dari kelima sila Pancasila dengan harapan dapat membawa generasi muda kita menuju Generasi Emas. Semoga…

GENERASI (ANTI) KORUPSI INDONESIA

GENERASI (ANTI) KORUPSI


Katanya, di Indonesia kini korupsi sudah jadi budaya. Katanya pula korupsi kini terjadi tidak hanya ditempat basah, tapi juga ditempat kering, bahkan di lingkungan akademis dan religus. Terus katanya juga, korupsi tidak pandang bulu, bisa tua atau muda, bisa laki-laki atau wanita, bisa atasan atau bawahan, bisa pejabat negara atau pejabat desa, dan tidak hanya kalangan eksekutif atau legislatif, tetapi yudikatif pun ikut tertular penyakit korup ini. Lalu, apakah generasi kita sekarang merupakan generasi korupsi ? Bagaimana dengan generasi selanjutnya ? Jangan-jangan korupsi kini sudah jadi kebutuhan, tinggal kapan ada kesempatan ?

Statistik Korupsi


Diskripsi di atas mengandung pesimisme, realitas, pertanyaan besar sekaligus tantangan berat yang dihadapi bangsa ini kini dan mendatang. Pesimis karena akar budaya korup sudah menjadi kebiasaan dan melembaga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Kebiasaan pungli dan suap menyuap saat ditilang, mengurus KTP, memasukan anak kesekolah unggulan/favorit, sampai money politic saat pilkades, pilkada dan pilpres, serta upeti untuk atasan agar mendapatkan atau untuk mempertahankan jabatannya.

Makin masifnya perilaku korup yang merugikan keuangan negara juga sudah menjadi realitas dihadapan kita semua yang diberitakan setiap hari dimedia massa dan media elektronik. Meningkatnya kasus korupsi dinegeri ini paling tidak dapat dilihat dari data pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari tahun 2004 sampai 31 Agustus 2013. Data jenis perkara korupsi didominasi oleh kasus penyuapan, pengadaan barang dan jasa, dan penyalahgunaan anggaran. Sisanya ada kasus pungutan, perizinan, TPPU dan upaya merintangi proses penyidikan KPK. Kasus penyuapan menjadi praktik korupsi yang terfavorit dilakukan dan terakhir dugaan penyuapan oleh Ketua MK Non Aktif yang sangat menggegerkan negeri ini. Kemudian tidak kalah berbahayanya, TPPU/tindak pidana pencucian uang (money laundering) kini telah menjadi modus bagi para koruptor untuk menyembunyikan hasil korupsinya.

Kemudian data penanganan korupsi berdasarkan profesi/jabatan didominasi oleh anggota DPR/DPRD, pejabat eselon I,II dan III, swasta dan kepala daerah. Selanjutnya disusul oleh Kementerian, Duta Besar, Komisioner, Hakim dan lain-lain. Data ini menunjukkan telah mengguritanya korupsi semua bidang, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, termasuk pihak swasta.

Kedua data di atas tentu belum data total kasus korupsi yang terjadi, karena KPK tidak menangani semua kasus korupsi, tetapi juga dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan di daerah-daerah. Namun satu hal yang terlihat jelas disini adalah, korupsi kini tidak hanya di pusat tetapi juga ikut terdesentralisasi ke daerah-daerah sampai ketingkat desa. Jadi otonomi daerah sekarang sepertinya termasuk pula kewenangan untuk korupsi berjamaah. Menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi “dari 536 Kabupaten/Kota yang ada saat ini, sudah ada 291 Kepala Daerah jadi tersangka korupsi (April 2013)”. Jadi hampir 50 % Kepala Daerah berstatus tersangka korupsi. Ironi bukan !!!

Generasi Anti Korupsi


Realitas di atas seakan membawa kita pada rasa pesimis di satu sisi, namun menjadi tantangan besar disisi yang lain. Sisi yang kedua inilah yang harus terus dikampanyekan kesemua elemen masyarakat. Kepada petinggi negeri ini tolong berikan contoh yang baik, jangan anda duduk dikursi pesakitan sebagai terdakwa korupsi yang dipertontonkan setiap hari. Kita jangan mau menjadi generasi korupsi atau bahkan mewariskan budaya korupsi ke anak cucu kita dan jadilah mereka sebagai generasi korup di zamannya.

Agar tidak menjadi generasi korup, jelas kita harus menjadi generasi anti korupsi. Bagaimana caranya? Saya kita dapat melakukan dengan hal-hal yang sederhana dari diri sendiri dulu dengan konsep KAWAN (Kenali dan Lawan). Jadi kita harus mengenali dan mengetahui dulu bentuk-bentuk perilaku korup. Tidak harus langsung mempelajari Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, tetapi dimulai dari perilaku sederhana tetapi dapat mencegah korupsi, seperti bersikap jujur dan bertanggungjawab. Sikap-sikap seperti inilah yang harus terus dipupuk sejak dini agar akar dari budaya korupsi itu tidak dapat tumbuh. Ungkapan “Berani Jujur, Hebat”, menunjukkan pentingnya kejujuran ditengah-tengah sulitnya mencari orang yang masih jujur dan bersih.

Dengan mengenali praktik-praktik korupsi dari yang kecil-kecilan sampai korup kelas kakap, mengetahui jenis korupsi di lingkungan keluarga, sekolah sampai negara, lalu melawannya dengan sikap-sikap dan perilaku yang dapat mencegah korupsi akan dapat membentuk pribadi-pribadi yang anti korupsi. Ketika telah terbentuk banyak pribadi-pribadi yang anti korupsi, maka terbentuklah generasi anti korupsi yang kita harapkan bersama.

Dalam modul anti korupsi KPK, disebutkan minimal 3 (tiga) perilaku yang dapat membentuk generasi anti korupsi, yaitu bertanggungjawab, hidup sederhana dan bersikap adil. Perilaku bertanggungjawab terkandung didalamnya sikap mengetahui kewajiban, siap menanggung resiko, amanah, tidak mengelak dan selalu berbuat yang terbaik. Kemudian perilaku hidup sederhana menuntut kita untuk bersikap bersahaja, tidak berlebihan, secukupnya, sesuai kebutuhan, dan rendah hati.

Sementara bersikap adil akan membiasakan kita melihat secara obyektif segala persoalan, proporsional, tidak memihak, dan penuh pertimbangan. Tiga perilaku ini harus mulai dilakukan dilingkungan keluarga, sekolah, dan tempat bekerja. Di lingkungan sekolah, SMAN 1 Gantung Belitung Timur dapat menjadi contoh, karena menjadi salah satu dari 70 sekolah yang terpilih sebagai pilot project penerapan Pendidikan Anti Korupsi oleh Kemendikbud RI tahun 2013. Lakukan sekarang juga jika kita ingin mengurangi angka korupsi dan tidak dicap sebagai generasi korup atau yang akan mewariskan budaya korupsi kepada generasi berikutnya. Semoga…

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit


Pasca pengumuman resmi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan oleh pemerintah pada jumat malam tanggal 21 Juni 2013 lalu membuat masyarakat miskin berada pada posisi yang semakin sulit. Berbagai aksi penolakan dan kritikan, baik yang dilakukan oleh beberapa partai politik di gedung parlemen maupun yang dilakukan oleh mahasiswa dan unsur-unsur masyarakat lainnya di jalanan tak mampu menyurutkan langkah pemerintah yang saat ini sedang mengalami kesulitan keuangan negara untuk mengambil kebijakan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan sebesar 44,44 persen untuk harga premium, yaitu dari Rp 4.500,- menjadi Rp.6.500,- perliter, dan sebesar 22,22 persen untuk harga solar dari Rp 4.500,- menjadi Rp 5.500,- perliter merupakan persentase kenaikan harga yang tinggi dalam sejarah kenaikan harga BBM di Indonesia.

Berbagai alasan pembenar yang telah dikemukakan dan gencarnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai media masa mengapa BBM tersebut harus dinaikkan menjadikan masyarakat menjadi diam dalam kepasrahan. Saat ini aksi-aksi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM sudah semakin berkurang, bahkan sudah semakin jarang terdengar Dalih pemerintah bahwa subsidi yang selama ini dilakukan tidak tepat sasaran karena lebih banyak mensubsidi kelompok orang kaya, sehingga lebih baik memberikan kompensasi dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) bukanlah alasan pembenar yang tepat. Apalagi seandainya dalam hal ini terselip adanya kepentingan politik tertentu menjelang pesta demokrasi pada tahun 2014.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi, langkah yang diambil pemerintah mungkin ada benarnya, tapi masalahnya sekarang sebagian besar masyarakat masih berada dalam kesulitan ekonomi. Kenaikan harga BBM tersebut selanjutnya akan menimbulkan efek spiral, yaitu kenaikan harga semua barang dan jasa yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya inflasi. Dari Data yang dirilis oleh BPS Babel menunjukkan bahwa tingkat inflasi bulanan di Kota Pangkalpinang pada bulan Juni 2013 sebesar 0,17 persen, angka ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan dengan bulan Mei 2013, dimana pada bulan tersebut bahkan terjadi deflasi sebesar 1,15 persen.

Kenaikan harga BBM bersubsidi diprediksi akan menyebabkan tingkat inflasi pada bulan juli 2013 ini akan semakin meningkat lagi. Waktu kenaikan yang berbarengan dengan dimulainya tahun ajaran baru dan masuknya bulan suci ramadhan akan membuat keadaan semakin bertambah parah, efek domino akan semakin besar dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang bisa mencapai dua kali lipat. Yang paling merasakan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut adalah masyarakat miskin dan masyarakat yang sedikit berada diatas garis kemiskinan, hal ini tentunya akan membuat posisi masyarakat miskin akan semakin terjepit.

Kenaikan harga BBM menyebabkan semakin meningkatnya biaya produksi suatu industri yang akan menyebabkan kenaikan harga barang produksinya, kenaikan BBM juga akan diikuti dengan naiknya ongkos transportasi baik darat, laut, maupun udara, dengan naiknya biaya transportasi akan menyebabkan kenaikan harga barang-barang dan jasa, apalagi untuk Provinsi Kepuluan Bangka Belitung, kebanyakan barang kebutuhan pokok berasal dari luar daerah.

Salah satu sektor yang terpukul dengan kenaikan harga BBM adalah sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Selama ini sektor UMKM memegang peranan yang penting dan strategis dalam perekonomian nasional, karena sektor ini terbukti mampu memberikan kontribusi sebesar 57,12 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan jumlah UMKM di Indonesia kini mencapai 55,2 juta unit atau 99,98 persen dari total unit usaha Indonesia. Bahkan sektor ini telah menyerap 101,72 juta orang tenaga kerja atau 97,3 persen dari total tenaga kerja Indonesia.

Jelasnya, dampak ekonomi dari kenaikan harga BBM, adalah akan semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan, yang disebabkan oleh semakin meningkatnya tingkat pengangguran, yang selanjutnya akan berakibat tingginya angka anak putus sekolah dan bermasalah dalam kesehatan, bahkan lebih jauhnya lagi adalah akan semakin meningkatnya tingkat kriminalitas.

BLSM Bukan Solusi


Langkah pemerintah yang akan memberikan dana kompensasi kepada masyarakat yang besarannya mencapai Rp 14 trilyun pasca kenaikan harga BBM bersubsidi dalam bentuk BLSM bukanlah merupakan solusi yang tepat, karena hanya bersifat sementara dan instant.

Pengalaman tahun 2005 menunjukkan bahwa BLSM yang dahulunya bernama BLT lebih banyak menimbulkan permasalahan baru dibandingkan menyelesaikan masalah. Berapa banyak bantuan tersebut yang salah sasaran, berapa banyak ketua RT yang mengundurkan diri dari jabatannya akibat mendapat tekanan dan ancaman, berapa banyak kantor desa yang dibakar masa akibat program tersebut, serta dampak negatif lainnya. Penyaluran BLSM pada tahun 2013 juga telah menimbulkan banyak permasalahan karena tidak akuratnya berbagai data dan tidak siapnya instrument dan SDM dalam proses penyalurannya.

Apapun alasannya pemberian BLSM bukanlah merupakan langkah yang bijak. Akan lebih baik dan mendidik jika dana BLSM yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah tersebut disalurkan melalui proyek padat karya, membantu usaha-usaha mikro dan usaha rumah tangga atau bahkan untuk mendirikan pabrik-pabrik diseluruh Indonesia, sehingga dapat menampung banyak tenaga kerja. Pemerintah harus menyelamatkan masyarakat miskin dari terkaman inflasi dengan mengawasi dan mengontrol kenaikan-kenaikan harga barang-barang dan ongkos transportasi yang terjadi. Jangan biarkan masyarakat miskin bertambah frustasi dalam posisi yang semakin tak berday

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN


Dalam Kamus Bahasa Indonesia, rakyat diartikan sebagai penduduk sebuah negara atau wilayah, sedangkan pemimpin adalah orang yang memimpin. Perbedaan diantara keduanya terletak pada yang dipimpin dan yang memimpin. Artinya dimana ada rakyat, pasti ada Pemimpin, yang akan mengelola jalannya roda pemerintahan untuk kesejahteraan seluruh rakyat yang dipimpinnya.

Fungsi pemimpin yaitu sebagai pemegang amanah yang diberikan oleh sang rakyat, dan ini merupakan sebuah beban berat yang harus dipikul oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, beban tersebut harus dipikul bersama antara sang pemimpin dengan jajaran kabinet yang telah dipilihnya dan bekerja dengan penuhkeikhlasan serta tanggung jawab, dengan dukungan doa dari sang rakyat.

Sejenak mari kita lihat apa yang terjadi dengan para pemimpin yang ada di negeri ini. Sebagai sebuah negara yang memiliki beragam suku dan bahasa, tentu akan beragam pula karakter pemimpin yang menjalankan roda pemerintahan diwilayahnya.

Lihat saja perbedaan karakter antara Jokowi dan Ahok, yang sekarang ini dipercaya menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur oleh rakyat Jakarta, dengan setumpuk permasalah yang terjadi, mulai dari macet yang belum berakhir hingga banjir yang terus menghantui.

Karakter kedua tokoh yang satu berasal dari Pulau Jawa dan yang satu dari Pulau Sumatera telah menyedot ribuan pasang mata yang melihat aksi keduanya melalui vidio yang mereka uplode di youtube.

Ketegasan seorang Ahok dalam membenahi birokarsi yang amburadul di Jakarta, dipadukan dengan aksi Jokowi yang sering melakukan kunjungan langsung menemui rakyat kecil di pelosok Jakarta, tanpa harus menunggu laporan terlebih dahulu dari para bawahannya. Hal ini telah menjadikan Jokowi sebagai sosok gubernur yang rendah hati dan dekat dengan rakyat kecil.

Kisah kedua tokoh tersebut, banyak mengambil simpati rakyat, tetapi banyak juga menuai kritikan dari para birokrat, yang selama ini apa-apa dengan uang dan uang. Rakyat sudah bosan dengan janji, sudah saatnya daerah mereka memiliki pemimpin yang mau mendengar aspirasi rakyatnya. Bukan hanya gasar gusur tanpa ada musyawarah terlebih dahulu.

Kehadiran sang pemimpin yang merakyat tentu sangat di harapkan oleh semua kalangan masyarakat. Karena seorang pemimpin yang amanah dan mau mengerti kondisi rakyatnya, akan bekerja dengan hati dan penuh tanggung jawab, tanpa memperdulikan tekanan dari orang-orang yang ingin mengambil keuntungan pribadi.

Pada akhir Tahun 2012 yang lalu, beragam media cetak dan elektronik tiada henti memberitakan kasus Bupati Garut. Kasus yang bermula dari pernikahan siri Sang Bupati dengan seorang gadis dibawah umur, telah mengundang kontroversi yang berkepanjang. Masyarakat Garut marah, banyak yang menuntut mundur Sang Bupati, tetapi sang pemimpin tersebut tetap pada pendiriannya. Tidak ingin mengundurkan diri dari jabatan yang telah di amanahkan sang rakyat.

Kasus yang menimpa Bupati Garut tersebut, tidak hanya menjadi pembahasan masyarakat Garut saja. Sekelompok ibu-ibu di Kota Palembang juga melakukan demo menuntut Sang Bupati dihukum, walaupun beda daerah kepemimpinan, tetapi demi harkat dan martabat kaum hawa, Ibu-ibu tersebut rela berpanas-panasan melakukan demo. Presiden SBY juga memberi tanggapan mengenai kasus Sang Bupati tersebut. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga telah menyatakan bahwa kasus Bupati Aceng telah melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan.

Persoalan yang dialami oleh Bupati Garut tersebut, merupakan citra buruk sosok pemimpin yang telah melupakan sumpah jabatan ketika dia dilantik untuk mengutamakan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan pribadi.

Seorang pemimpin yang seharusnya memberi kemajuan bagi perkembangan daerah yang dia pimpin, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Citra Kabupaten Garut yang terkenal dengan dodol dan dombanya, malah telah menjadi tujuan wisata baru bukan karena dodol dan dombanya melainkan karena kasus yang menimpa Aceng Sang Bupati Garut.

Pemimpin Amanah


Saat ini, sangat sulit untuk mencari sosok pemimpin yang mau benar-benar memperhatikan dan mendengar keluhan rakyatnya, tanpa memandang siapa dia dan apa pekerjaannya. Kebanyakan para pemimpin di negara ini, hanya mau mendengar apa yang diucapkan oleh mereka yang punya kedudukan atau mereka yang memiliki uang banyak.

Beberapa waktu yang lalu, banyak media memberitakan kisah pengusiran seorang bapak berumur lima puluh satu tahun bernama Kasdi oleh petugas keamanan Mahkamah Agung (MA). Hal ini terjadi karena sang bapak tidak memakai sepatu dan baju yang rapi. Kasdi yang hanya berprofesi sebagai pencari ikan di rawa-rawa, tidak mampu untuk membeli sepasang sepatu, padahal tujuan Kasdi ke Mahkamah Agung yaitu hendak menanyakan proses kasasi anaknya yang terkait kasus narkoba.

Lain halnya dengan para pejabat atau pengusaha, yang menggunakan sepatu mengkilat dengan balutan jas necis dan kaca mata, sebagai onderdil tambahan untuk membangun kharismanya. Tentu saja mereka akan dilayani dengan sangat ramah, bahkan bisa jadi diantar langsung menemui sang pimpinan. Mau tidak mau, suka tidak suka, inilah yang terjadi dinegeri ini, dan kejadian seperti yang dialami oleh Bapak Kasdi dianggap hal yang biasa.

Pada tahun 2014 nanti, bangsa ini akan memilih sang pemimpin yang akan menahkodakan perahu Republik Indonesia ini lima tahun ke depan. Walaupun masih dua tahun lagi, tetapi para kandidat calon pemimpin bangsa telah bermunculan satu demi satu.

Partai politik sibuk memperkenalkan sang calon pemimpin dan mengerahkan para satgasnya untuk lebih sering terjun kelapangan, dan melakukan beragam kegiatan dalam upaya merebut simpati rakyat, terutama rakyat kecil yang mudah untuk di iming-imingi dengan sembako dan pengobatan gratis.

Hal yang lebih mengagetkan lagi yaitu, kemunculan calon pemimpin yang berasal dari kalangan artis, sebut saja kehadiran raja dangdut Rhoma Irama sebagai calon presiden yang dijagokan oleh dua partai besar peserta pemilu. Ketenaran raja dangdut yang sudah puluhan tahun menghibur masyarakat dan memiliki jumlah penggemar yang mencapai ribuan bahkan mungkin jutaan, merupakan sosok yang pantas dilirik sebagai calon presiden pada tahun 2014 nanti.

Faktor keterlibatan artis dalam upaya menarik hati para pemilih merupakan senjata pamungkas bagi partai politik. Berbagai upaya akan dilakukan demi menarik simpati rakyat, dan calon pemimpin yang mereka usung bisa terpilih.

Tetapi pada akhirnya, semua kembali ke tangan rakyat. Senandung yang selama ini didendangkan untuk sang pemimpin, semoga saja membawa perubahan bagi sang rakyat. Pengalaman Pemilukada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, telah menjadi pelajaran berharga bagi seluruh partai politik peserta pemilu 2014 nanti. Banyaknya dukungan parpol terhadap sang calon pemimpin, bukanlah jaminanan sebagai pemenang, tetapi figur ketokohanlah yang menjadi kunci kemenangan.

Semoga saja dimasa yang akan datang, akan terpilih sang pemimpin yang mengerti kebutuhan rakyatnya, mengerti kesulitan yang dialami rakyatnya dan meletakkan kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Amin.

Sistem Politik Indonesia dalam Hubungannya Dengan Pancasila



Sistem Politik Indonesia dalam Hubungannya Dengan Pancasila

Dari dulu Indonesia berpedoman system pemerintahan presidensial yang mempunyai karakter parlementer, anda dapat temukan artikel system politik Indonesia dari beragam sumber. Selanjutnya lagi, Indonesia di pimpin oleh presiden untuk kepala negara serta kepala pemerintahan lantaran berpedoman system presidensial. Walau demikian, wujud pemerintahan bakal ikuti system pemerintahannya yakni republik. Didalam artikel, anda bakal temukan semakin banyak info perihal system pemerintahan ataupun politik yang diyakini oleh Indonesia.

politik indonesia
System politik adalah paduan dari kata system serta politik. Didalam artikel system politik Indonesia, system bisa disimpulkan jadi satu kesatuan dalam seluruh yang terorganisir dengan benar-benar terbaik. Lalu, politik yang banyak disimpulkan untuk jalinan antar manusia yang bakal membuat ketentuan, kewenangan, serta lalu kekuasaan. Hingga bisa disimpulkan bahwasanya system politik Indonesia yaitu himpunan beragam aktivitas yang terkait dengan kebutuhan rakyat berbarengan dalam hubungannya dengan aktivitas berbangsa serta bernegara.

Artikel System Politik Indonesia untuk System Demokrasi


Didalam artikel system politik Indonesia, Indonesia mempunyai system politik demokrasi Pancasila. System politik ini didasarkan pada pemahaman nilai-nilai mulia yang ada didalam Pancasila. Tetapi butuh di ketahui bahwasanya system demokrasi bakal membawa konsensus untuk mengatur konflik. Lebih jauh lagi, untuk kehidupan bernegara bisa terbagi dalam beragam jenis system. Tak ada system demokrasi yang berbentuk universal. Untuk tersebut, system politik mesti sesuai dengan pandangan hidup, latar belakang histori negara itu, dan kepribadian dari negara itu. Karena, artikel perihal system politik di Indonesia ini butuh untuk di baca ataupun dimengerti.

Artikel System Politik Indonesia dengan Nilai-nilai Pancasila


Ditambahkan dalam artikel system politik Indonesia, Indonesia telah alami empat saat kehidupan politik yakni saat pemerintahan pertama Republik Indonesia, saat Orde Lama, saat Orde Baru, serta saat reformasi. Seperti yang disebutkan pada mulanya, system politik Indonesia mempunyai pandangan yang sesuai sama dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila diantaranya nilai kerohanian yang mengaku ada nilai vital yang terdaftar didalam sila-sila Pancasila. Lebih jauh lagi, nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila mempunyai karakter objektif serta subyektif. Hal semacam ini sesuai dengan hasil pemikiran bangsa serta rakyat Indonesia pada terutama. Karena artikel system politik di Indonesia berisi beragam hal tentang system politik yang berpedoman nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila.

Secara singkat, Indonesia berpedoman system presidensial untuk system pemerintahan, serta Republik untuk wujud pemerintahan. Untuk menggerakkan kehidupan berbangsa serta bernegara, Indonesia lalu berpedoman system politik demokrasi. Tetapi, cuma hanya demokrasi saja tak lagi mewakili kepribadian serta latar belakang negara Indonesia. Untuk tersebut, Indonesia mempunyai system politik demokrasi Pancasila. Dengan system politik ini, orang-orang politik mesti menjunjung nilai-nilai mulia yang terdapat didalam Pancasila. Karena, artikel system politik Indonesia bisa menolong anda mengerti system politik demokrasi Pancasila.

AN MALAKA, SYAHRIR DAN HATTA : TRIO MINANGKABAU BERSEBERANGAN JALAN


Oleh : Muhammad Ilham

Ah .... sungguh "rahim" Minangkabau pantas berbahagia. Minangkabau yang egaliter mampu melahirkan figur-figur avant garde dalam sejarah pergerakan Indonesia yang tak-lah seragam seumpama Tan Malaka, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Mereka bertiga ini didaulat sebagai bagian dari Bapak Revolusi Indonesia selain Soekarno.
Tan Malaka yang dari Pandan Gadang, Hatta dari Batuhampar dan Syahrir yang juga kakak Rohana Koedoes dari Koto Gadang ini sama-sama egois. Selalu berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Mrazek pernah menarasikan bagaimana "egoisme ideologis" mereka bertiga ketika diskusi mengenai "arah masa depan" republik tercinta.
Berawal di Berlin Jerman, di rumah salah seorang dedengkot komunis Hindia Belanda pada tahun 1920-an, Darsono namanya. Di rumah Darsono ini, tiga anak muda bertemu dan berdebat panas. Mohammad Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen. ”Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl Marx menyebut diktator proletariat,”
Hatta, 20 tahun, menyela. ”Itu hanya ada pada masa peralihan,” Tan menukas. Dia melanjutkan, ”Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat. Kaum buruh merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator orang-seorang.”
 Dalam bukunya "Memoir", Mohammad Hatta menceritakan kembali percakapan itu. Dalam buku itu Hatta setuju pada pandangan Tan, yang lebih tua tujuh tahun. Bahkan ia mengomentarinya: jika begitu Tan pasti tak setuju dengan cara otoriter Joseph Stalin memimpin Rusia. Dan itulah perseteruan ideologis duo Minang ini. Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan percaya, jika digabung, Pan-Islamisme dan komunisme bisa menjadikan Indonesia digdaya. Hatta dan Tansudah seperti musuh.

Hatta buka kartu kenapa ia selalu curiga dan menentang Tan. Hatta menganggap Tan selalu meremehkannya. ”Dia selalu menganggap kami (Soekarno-Hatta) anak ingusan,” katanya. Hatta, sebetulnya sudah tak senang kepada Tan sejak di Amsterdam. Pada 1927, setahun setelah ”pemberontakan” Partai Komunis Indonesia yang gagal, Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan pimpinan revolusi kepada tokoh nasionalis. Berbeda dengan Semaun, Ketua PKI, yang langsung teken ketika disodori deklarasi itu, Tan menolak. Penolakan itulah yang ditafsirkan Hatta sewaktu berbicara dengan Soekarno sebagai sikap sentimen Tan kepadanya. Padahal, Tan Malaka hanyalah berpandangan bahwa pemimpin revolusi tak boleh dipegang orang selain komunis.
Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23 September 1945, sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Hatta menawari Tan ikut dalam pemerintahan. ”Tidak, dua (Soekarno-Hatta) sudah tepat. Saya bantu dari belakang saja,” kata Tan. Hatta menganggap penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda. Tak mengherankan ketika Soekarno keceplosan membuat testamen lisan yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema Soemantri, dan Wongsonegoro. ”Agar mewakili semua kelompok,” katanya.

Selain dengan Hatta, Tan Malaka juga berselisih paham dengan Sutan Sjahrir, yang juga berasal dari Minang. Menurut Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978), pada awal-awal kemerdekaan Sjahrir menolak bergabung dengan pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia menerima sepenuhnya proklamasi Soekarno-Hatta. Setelah yakin Indonesia merdeka secara de jure, Sjahrir—yang menganut ideologi sosial-demokrat—ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda.
Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia ”merapat” ke kubu Inggris-Amerika sebagai ”penguasa” baru nusantara. Sekutu memilih Sjahrir sebagai juru runding karena menganggap ”Bung Kecil” itu berpikiran modern dan disukai Belanda. Sjahrir kemudian gencar mengampanyekan politik diplomasi. Dalam kampanyenya, seperti tertuang dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir telak-telak menyatakan akan menyingkirkan semua kolaborator Jepang. Tentu saja ini menohok Soekarno-Hatta. Juga Jenderal Soedirman sebagai salah satu pemimpin tentara Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) bentukan Jepang.
Perselisihan makin runcing ketika Sjahrir menjadi perdana menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer. Praktis ia dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Meski tak banyak komentar lisan, dalam Demokrasi Kita, Wakil Presiden Hatta mengecam perubahan itu. ”Kabinet parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya,” katanya.
Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapat ke kubu Tan Malaka yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir medio 1940, muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan Malaka. ”Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijaksaan sendiri,” kata Soedirman kepada Adam Malik.
Soedirman dan Tan Malaka lalu mengumpulkan seluruh elemen politik di Purwokerto, Jawa Tengah. Pertemuan ini menghasilkan faksi Persatuan Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.
Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang terkenal sebagai politisi-cum-sejarawan: Muhammad Yamin. Ia aktif di Persatuan, tapi sering jalan dengan sikapnya sendiri. Tanpa konsultasi dengan pimpinan Persatuan, Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir dengan mundurnya Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari 1946. Situasi adem itu tak berlangsung lama.
Tak lama kemudian Soekarno kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, para pemuda Persatuan sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang akan masuk Istana Negara. Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan tentara menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Tapi konflik tak begitu saja reda, sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.
Sejarawan Harry A. Poeze berpendapat, perbedaan trio Minang itu karena mereka lahir dari lingkungan yang berbeda, meski sama-sama belajar Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adat, Tan seorang raja tapi miskin secara ekonomi, sedangkan Hatta-Sjahrir kelas menengah secara ekonomi. Tan orang udik, Hatta dari Bukittinggi dan Sjahrir dari Padangpanjang dari keluarga pedagang. Meski sama-sama dibuang, Hatta-Sjahrir masih menerima penghasilan. Sedangkan Tan tak punya pendapatan pasti dalam pelarian, hidupnya susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha di Banten Selatan.
Pasase hidup yang membuatnya kian mantap menjadi Marxis dimulai ketika mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda di Deli. Ia melihat langsung bagaimana orang sebangsanya ditindas menjalani kuli kontrak. Berbeda dengan Hatta, kendati sering berseberangan, hubungan pribadi Tan dengan Sjahrir relatif bagus. Menurut Poeze, Sjahrir pernah dua kali menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa, Tan menolak. (dikutip dari www.ilhamfadli.blogspot.com)

KUDA TROYA ZIONIS DI GROUP BAKRIE


Oleh Artawijaya 
(Penulis Buku “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara”) 
 
Pengusaha-pengusaha Yahudi dimanapun berada selalu berusaha menyusup dalam kekuasaan dan menciptakan kartel politik untuk kepentingan membangun tata dunia baru, Novus Ordo Seclorum, di bawah kendali Zionisme internasional. Akankah Grup Bakrie menjadi ‘kendaraan’ bagi dinasti Yahudi untuk menjalankan “agenda-agenda rahasianya” di Indonesia? 

Di tengah ramainya tudingan mengenai kongkalikong Abu Rizal Bakrie dengan mafia pajak Gayus Tambunan, publik Indonesia dikejutkan dengan berita tukar guling perusahaan milik Group Bakrie dengan Vallar Plc yang dimiliki Dinasti Rothschild, keluarga Yahudi terpandang di Eropa yang mempunyai catatan kelam sebagai pebisnis dan pembuat makar politik untuk kepentingan Yahudi internasional.

Perjanjian tukar guling dua perusahaan besar tersebut dilakukan di Singapura, negeri tetangga Indonesia yang selama ini dikenal sebagai “Satelit Israel di Asia Tenggara”. Sudah menjadi rahasia umum, karena tak adanya hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia, maka lobi-lobi bisnis pengusaha Yahudi dengan pengusaha di negeri ini dilakukan dengan menggunakan negara ketiga, yakni Singapura. Bahkan ada yang menyebut, kedubes Israel di Singapura, juga merangkap sebagai kedubes Israel untuk Indonesia.

Theo Kamsa, orang yang baru-baru ini menyelesaikan studi doktornya tentang “Yahudi di Kawasan Selat Malaka” dari Vrije Universitiet, Belanda, menyatakan bahwa orang Yahudi aktif berbisnis kawasan asia. Dari Singapura mereka melebarkan bisnis ke Indonesia dan Malaysia. Dari Singapura mereka mengunjungi Indonesia dan Malaysia.”Kentara sekali pertautan aktivitas mereka dari Indonesia, ke Malaysia dan Singapura, melampaui batas-batas negara yang formal,” ujar Theo seperti dikutip Radio Nederland.

Pekan-pekan ini beberapa media nasional ramai-ramai menurunkan laporan tentang jejaring  Yahudi di Indonesia. Majalah Suara Hidayatullah memuat laporan utama “Hubungan Gelap Indonesia-Zionis-Israel”, Harian Umum Republika, mengutip berita dari The New York Times memuat laporan tentang berdirinya Tugu Menorah milik Yahudi di Manado. Tugu Menorah yang disebut terbesar di dunia itu, dikabarkan menggunakan dana APBD pemerintah setempat dan melibatkan elit-elit politik dan pengusaha lokal di daerah tersebut.

Sedangkan dua majalah nasional lainnya, Gatra dan Tempo, memuat laporan tentang tukar guling Bakrie Brothers tbk dengan Vallar Plc yang berkedudukan di London, Inggris.Majalah Gatra bahkan memuat headline di sampul depan dengan judul “Jejak Yahudi di Grup Bakrie”. Sementara itu, situs-situs berita online memuat rencana Dinasti Rothschild untuk menguasai sektor energi, terutama batu bara di Indonesia dengan berkolaborasi lewat Grup Bakrie.

Sebelumnya, Majalah Warta Ekonomi juga memuat laporan utama tentang ekspansi pebisnis Yahudi di Indonesia. Bahkan, bisa dibilang, ekspansi tersebut tak lebih dari “hubungan gelap” antara pengusaha Yahudi dan penguasa di Indonesia yang memuluskan lobi-lobi bisnis mereka di negeri ini. Majalah Warta Ekonomi memuat headline di sampul depan dengan judul “Ekspansi Bisnis Soros dan Israel di Indonesia”.

Para pebisnis Yahudi selalu melakukan lobi-lobi bisnis dengan high level, top person, atau top leader di negara manapun mereka melakukan ekspansi bisnisnya. Mereka tak mau melakukan lobi-lobi dengan orang ecek-ecek atau non-important person apalagi pengusaha yang tidak memiliki jaringan ke lini kekuasaan. Karena itu, mereka melakukan lobi-lobi dengan top person di Kadin (Kamar Dagang Industri) Indonesia atau melakukan lobi langsung dengan top leader di negeri ini, seperti pertemuan antara George Soros dengan Wapres Boediono dan pejabat tinggi lainnya di Indonesia beberapa waktu lalu.

Sedangkan Vallar Plc yang dimiliki oleh Nathaniel Philip Victor James Rothschild, generasi kedepalan Dinasti Rothschild sukses melakukan lobi bisnis dengan perusahaan besar milik Grup Bakrie, yang tentu saja akan berimbas pada keuntungan dalam berbagai sisi, tak hanya bisnis, mengingat orang tertua di Grup Bakrie, yakni Abu Rizal Bakrie adalah Ketua Umum Partai Golkar, partai terbesar di Indonesia yang mempunyai jaringan kuat di lini kekuasaan.

Bagi Yahudi, bisnis tak semata bisnis, namun ada tujuan pokok yang mereka incar, yakni mengkooptasi kekuasaan.Mereka berusaha menancapkan taring kekuasaannya di seluruh dunia untuk memuluskan ide besar mereka membangun tata pemeritahan tunggal, Novus Ordo Seclorum, di bawah Kendali Zionisme Internasional. Upaya mengkooptasi kekuasaan, bahkan dengan cara makar sekalipun, pernah dilakukan Dinasti Yahudi di negara-negara Eropa dan Amerika. Awalnya lewat pengusaan lewat sektor bisnis strategis, seperti telekomunikasi, sumber daya alam, perbankan, persenjataan, pertaniaan, dan sebagainya, yang berujung pada kooptasi kekuasaan.

Untuk memuluskan agendanya, selain dengan top person yang memegang kekuasaan formal, jejaring Yahudi juga berusaha menggunakan LSM-LSM yang dibiayai dan dibentuk oleh mereka. Jika di Amerika ada American Israeli Public Affair Comitte (AIPAC), maka di Indonesia pada tahun 2002 lalu dilaunching Indonesia-Israel Public Affair Comitte (IIPAC) yang diketuai oleh Benjamin Ketang, kader muda NU binaan Gus Dur yang berhasil menyelesaikan studi masternya di Hebrew University, Jerussalem. Benjamin Ketang yang bernama asli Nur Hamid adalah kader muda NU yang diplot  untuk membangun sebuah jejaring politik dan bisnis Yahudi di Indonesia. IIPAC yang diketuai Ketang beraliansi ke AIPAC dan Australia Jewish Comitte.

Ekspansi pebisnis Yahudi memiliki tujuan utama terciptanya sebuah “kartel politik” alias persekongkolan politik, antara pengusaha dan penguasa, antara pebisnis dan para komprador. Freeport, ExxonM obile, dan lain-lain adalah wujud nyata persekongkolan politik yang mengeruk kekayaan Indonesia dan menyengsarakan jutaan rakyat di negeri ini. Karenanya, upaya Dinasti Rotshcild untuk menguasai sumber daya alam di sektor batu bara di Indonesia, yang berkolaborasi dengan Grup Bakrie perlu diwaspadai, mengingat Abu Rizal Bakrie sebagai sesepuh di perusahaan keluarga ini adalah orang nomor wahid di partai terbesar di Indonesia yang memiliki akses ke jantung kekuasaan di negeri ini (artikel ini dikutip dari www.globalmuslim.web.id)

Inilah Sebagian Dokumen Tentang Indonesia yang Dibocorkan Wikileaks

Inilah Sebagian Dokumen Tentang Indonesia yang Dibocorkan Wikileaks

Inilah Sebagian Dokumen Tentang Indonesia yang Dibocorkan Wikileaks
SUMBER: Republika
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Wikileaks memiliki sebanyak 3.059 dokumen rahasia Amerika Serikat yang terkait Indonesia. Dokumen itu merupakan semacam laporan diplomatik yang dikirim dari Kedubes AS di Jakarta dan Konjen AS di Surabaya. Situs Wikileaks berjanji akan mempublikasi dokumen itu secara bertahap.

Dan ternyata Wikileaks mulai menepati janjinya. Tiga buah dokumen mengenai Indonesia sudah dirilis. Dokumen itu dibuat dalam bentuk
Congressional Research Service (CSR), lembaga think tank Kongres AS. Dokumen CRS ini biasanya menjadi dasar bagi Senat dan DPR AS dalam mengambil kebijakan. Berikut isi dokumen tersebut:
Masalah Timor Timur
CRS Report RS20332
East Timor Crisis: US Policy and Options
5 November 1999
*Pemerintahan Bill Clinton menekan RI agar menerima kehadiran pasukan perdamaian internasional di Timor Timur usai jajak pendapat 1999.
*Menghentikan kerja sama militer AS dan Indonesia dan mengancam sanksi lebih keras bila tak mau bekerja sama, mengendalikan milisi, dan memulangkan 200 ribu pengungsi Timor Timur.
*Mendukung keputusan IMF dan Bank Dunia menghentikan bantuan mereka untuk Indonesia.
* Bantuan yang dihapus untuk tahun 2000 antara lain bantuan ekonomi 75 juta dolar AS, Economic Support Funds 5 juta dolar AS dan IMET 400 ribu dolar
Tentang Pemilu 2004
CRS Report RS21874 Analyst in Southeast and South
Asian Affairs 20 Mei 2005
*SBY disebut the thinking general
*Bila Wiranto jadi presiden, hubungan RI dan AS akan sangat rumit karena Kongres AS menaruh perhatian besar pada isu pelanggaran HAM di Timor Timur.
*Suksesnya Pemilu 2004 meneguhkan dominasi partai sekuler, yaitu Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat.
Pelatihan Kopassus
Dokumen Joint Combined Exchange Training (JCET) and Human Rights Background and Issues for Congress
26 Januari 1999
*Sejak 1992, Kongres AS memutus program Pelatihan dan Pendidikan Militer In ternasional (IMET) untuk Indonesia setelah tragedi Santa Cruz.
* Namun, di bawah program JCET Dephan yang di setujui oleh Deplu, pasukan Baret Hijau AS melatih 60 anggota pasukan khusus TNI di Indonesia yang sebagian besar Kopassus. JCET berdalih pelatihan murni militer meskipun kurikulum latihan perang kota berjudul ‘crowd control’.
*April 1998, anggota Kongres AS menyurati Menteri Pertahanan Cohen Evans yang menyebut program JCET mengakali larangan Kongres. JCET dihentikan 8 Mei 1998.
Sumber: WikiLeaks, Congressional Research Service

KENAPA IRAN TIDAK SERANG ISRAEL ?

Oleh  Dina Y. Sulaeman
(Dikutip dari dinasulaeman.wordpress)
Pertanyaan ini sering muncul di dalam berbagai diskusi di dunia maya, “Kalau Iran betul-betul anti-Israel, mengapa Iran sampai sekarang tidak jua menyerang Israel?” Pertanyaan ini konteksnya adalah menuduh Iran omdo (omong doang), bahkan ada yang lebih parah lagi, menggunakan teori konspirasi, “Ini bukti bahwa ada kerjasama di balik layar antara Iran dan Israel.”
Bila memakai kalkulasi hard power, harus diakui bahwa sebenarnya kekuatan Iran masih jauh di bawah AS. Apalagi, doktrin militer Iran adalah defensive (bertahan, tidak bertujuan menginvasi negara lain). Iran hanya menganggarkan 1,8% dari pendapatan kotor nasional (GDP)-nya untuk militer (atau sebesar 7 M dollar). Sebaliknya, AS adalah negara dengan anggaran militer terbesar di dunia, yaitu 4,7% dari GDP atau sebesar  687 M dollar. Bahkan, AS telah membangun pangkalan-pangkalan militer di berbagai wilayah di sekitar Iran. AS adalah pelindung penuh Israel dan penyuplai utama dana dan senjata untuk militer Israel. Bujet militer Israel sendiri, pertahunnya mencapai 15 M Dollar (dua kali lipat Iran).
Sebelum menjawab ‘mengapa Iran tidak langsung menyerang Israel’?, mari kita jawab dulu pertanyaan sebaliknya, mengapa AS dan Israel tidak jua menyerang Iran? AS sebenarnya tidak berkepentingan menyerang Iran. Tetapi, Israel berkali-kali meminta AS untuk menyerang Iran dengan alasan “Iran memiliki nuklir yang mengancam keselamatan Israel.” Ketika rezim Obama enggan menuruti permintaan Israel, Israel bahkan mengancam akan menyerang Iran sendirian, tanpa bantuan AS. Untuk menelaah prospek perang AS+Israel melawan Iran, Anthony Cordesman dari Center for Strategic and International Studies merilis hasil penelitiannya pada bulan Juni 2012.  CSIS melakukan kalkulasi bila AS dan Israel menyerang Iran, antara lain menghitung berapa banyak pesawat pengebom yang dibutuhkan, berapa banyak bom yang harus dibawa, apa kemungkinan serangan balasan dari Iran, dan bagaimana cara menghadapinya.
Salah satu kesimpulan yang diambil Cordesman adalah, profil militer Israel tidak akan mampu melakukan serangan tersebut. Untuk menyerang Iran, Israel harus mengerahkan seperempat pasukan udaranya dan semua pesawat tempurnya, sehingga tidak ada pesawat cadangan untuk berjaga-jaga. Pesawat-pesawat tempur itu harus melewati perbatasan Syria-Turki sebelum terbang di atas udara Irak and Iran. Dan wilayah-wilayah tersebut, sangat rawan bagi Israel. Menurut Cordesman, “Berdasarkan jumlah pesawat yang diperlukan, proses pengisian bahan bakar yang harus dilakukan sepanjang perjalanan menuju Iran, serta usaha mencapai target gempuran tanpa terdeteksi sangatlah beresiko tinggi dan kecil kemungkinan keseluruhan operasi militer tersebut akan berhasil.”
Dan bahkan jika pesawat tempur Israel berhasil mengebom reaktor nuklir Iran, pembalasan yang dilakukan Iran akan membawa dampak yang sangat buruk bagi kawasan Timur Tengah. Cordesman menulis, “Anda tidak akan ingin tahu seperti apa jadinya Timur Tengah sehari setelah Israel berupaya menyerang Iran.”
Karena itu, bila Israel berkeras ingin menyerang Iran, Israel harus menggandeng AS. Tapi, bila AS menyetujui permintaan Israel ini, AS harus mengerahkan ratusan pesawat dan kapal tempur. Serangan awal saja sudah membutuhkan alokasi kekuatan yang sangat besar, termasuk pengebom utama, upaya penghancuran system pertahanan  udara lawan, pesawat-pesawat pendamping untuk melindungi pesawat pengebom, peralatan perang elektronik, patrol udara untuk menahan serangan balasan dari Iran, dll. Pada saat yang sama, AS harus menghalangi Iran agar tidak melakukan aksi apapun di Selat Hormuz. Bila Iran sampai berhasil memblokir Selat Hormuz, suplai minyak dan gas dunia akan terhambat dan efeknya akan sangat buruk bagi perekonomian dunia. Dan ini bukan pekerjaan mudah. Iran selama ini justru sangat memperkuat kemampuan militernya demi mengontrol Selat Hormuz bila terjadi perang.  Meskipun, AS juga sudah mempersiapkan banyak hal untuk menjaga agar Hormuz tetap terbuka, antara lain dengan menempatkan berbagai perlengkapan militer di Bahrain, Saudi Arabia, Qatar, Kuwait, dan UAE. Namun inipun mengandung ancaman lain. Iran berkali-kali mengancam, bila wilayahnya diserang, Iran akan melakukan serangan balasan ke semua negara Arab yang di dalamnya ada pangkalan militer AS. Belum lagi, Rusia dan China diperkirakan akan ikut campur demi mengamankan kepentingan mereka sendiri di Timteng. Tak heran bila banyak analis mengungkapkan ramalan bahwa Perang Dunia III akan meletus bila AS sampai menyerang Iran.
Lihatlah situasinya: bila Israel dan AS menyerang Iran, artinya mereka keluar dari wilayah mereka sendiri dan harus bersusah-payah mengusung semua perlengkapan militernya. Lalu, urusan tidak selesai hanya dengan menjatuhkan bom ke situs nuklir Iran. Serangan balik dari Iran, dan posisi geostrategis Iran, sangat memberikan potensi kekalahan bagi AS dan Israel. Karena itulah, Menhan Leon Panetta sampai berkata, “Sangat jelas bahwa bila AS melakukan serangan itu, kita akan mendapatkan akibat buruk yang sangat besar.”
Sekarang mari kita balik: bagaimana seandainya Iran menyerang Israel? Minimalnya, ada dua versi jawaban yang bisa diberikan sementara ini.
  1. Berdasarkan kalkulasi hard power. Ingat lagi profil militer Iran. Bisa dibayangkan, berapa banyak senjata yang dimiliki Iran dengan dana 7 M Dollar pertahun, dibandingkan dengan banyaknya senjata yang dimiliki AS dengan dana 687 M Dollar pertahun.  Bandingkan lagi dengan kondisi ‘seandainya Israel menyerang Iran’ seperti yang sudah dianalisis Cordesman di atas.   Kesimpulan yang bisa diambil adalah saat ini, profil militer Iran memang belum mampu menyerang Israel secara langsung, begitu juga sebaliknya, Israel juga belum mampu menyerang Iran secara langsung. Sementara, AS punya hitung-hitungan lain di luar sekedar menyerang Iran. AS akan menghadapi kehancuran ekonomi yang sangat parah bila sampai mengobarkan perang terhadap Iran.
Artinya, kedua pihak saat ini masih dalam posisi sama-sama bertahan. Itulah sebabnya, retorika Iran selama ini memang selalu defensif: Iran tidak mengancam akan menyerang, melainkan ‘akan membalas bila ada yang berani menyerang’. Seandainya Iran dalam posisi diserang dan membela diri dari dalam negeri (bukan dalam posisi menyerang dan mengirimkan pasukan ke luar wilayahnya) Iran sangat mungkin bertahan dan meraih kemenangan, karena memiliki keunggulan geostrategis. Hanya dengan memblokir Selat Hormuz, seluruh dunia akan merasakan dampak buruk perang dan bahkan AS akan bangkrut sehingga tak akan mampu melanjutkan perang.
Sebaliknya, untuk bisa maju perang (=secara ofensif mengirimkan senjata dan pasukan ke luar wilayahnya), Iran tidak mungkin maju sendirian. Bila negara-negara Arab, terutama yang berbatasan darat dengan Palestina, belum siap berjuang, tentu sangat konyol bila Iran harus mengirim pasukan ke Palestina yang jauhnya 1500 km dari Teheran. Berapa banyak pasukan, pesawat tempur, dan rudal yang mampu dikirim oleh Iran yang hanya punya anggaran 7 M Dollar pertahun?  Bila Mesir saja yang pemerintahannya dikuasai Ikhwanul Muslimin (artinya, seideologi dengan Hamas) masih menutup pintu perbatasannya dengan Gaza; masih menolak untuk terjun langsung ke medan pertempuran membela saudara se-harakah mereka, mengapa Iran yang di-ojok-ojok untuk mengirim pasukan perang? Karena itu, dari sisi ini, hanya satu kata untuk menilai pertanyaan ‘mengapa Iran tidak langsung menyerang Israel?’ : naif.
2. Berdasarkan kalkulasi soft power. Sangat mungkin, di atas kertas, profil militer Iran memang seperti yang diungkapkan di atas. Tapi, bila diingat lagi percepatan kemajuan teknologi militer yang dicapai Iran dan statemen beberapa petinggi militer Iran yang menyebutkan bahwa kemampuan Iran ‘jauh lebih besar dari apa yang terlihat’, ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan. Iran adalah negara yang berbasis teologi mazhab Syiah dan meyakini adanya aspek transenden dalam setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin spiritual mereka (rahbar). Militer Iran pun berada di bawah wewenang rahbar, yang sekarang dijabat Ayatullah Khamenei. Iran meyakini bahwa Ayatullah Khamanei memiliki kemampuan transenden sehingga mengetahui kapan saat yang tepat untuk maju perang. Orang lain boleh tidak percaya, tetapi ini adalah urusan rakyat Iran sendiri.
Di sini, pertanyaan mengapa Iran belum juga menyerang Israel secara langsung (seandainya memang kemampuan militernya sebenarnya sudah mencukupi) akan mendapat jawaban sederhana saja: karena belum diizinkan oleh sang Rahbar. Lalu, mengapa Rahbar belum memberi izin? Silahkan dipikirkan sendiri, dengan mengaitkannya pada hal-hal yang bersifat ideologis dan relijius; dan hal ini di luar kapasitas saya untuk menjelaskan.
Intinya, perjuangan melawan Israel bukanlah perjuangan Iran saja. Ini seharusnya menjadi perjuangan bersama semua negara-negara muslim. Dan inilah yang terus diupayakan para pemimpin dan ulama Iran melalui berbagai statemen dan orasinya: membangkitkan kesadaran dan semangat juang kaum muslimin sedunia; sambil terus berupaya memperkuat profil militernya. Ini bukanlah omdo (omong doang), tapi upaya yang memang harus dilakukan sebelum mencapai kemenangan.
Akan tiba suatu masa ketika kaum muslimin sedunia bangkit bersatu dan bersama-sama merebut kembali Al Quds dari tangan para penjajah. Inilah janji Allah dalam QS 17:4-5, “Dan telah kami tetapkan terhadap Bani Israel di dalam Alkitab: sesungguhnya kalian akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan kalian akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Dan maka ketika telah tiba apa yang dijanjikan itu, akan kami bangkitkan para hamba yang perkasa dan  memiliki kekuatan besar untuk mengalahkan kalian. Para hamba itu akan mencari kalian sampai ke tempat persembunyian kalian dan janji [Allah] itu pasti terjadi.”

3 Cara Berpikir

3 Cara Berpikir

Beda Orang Besar dan Orang Kerdil

Bagaimana cara berpikir orang besar, tokoh dunia yang sukses, dibanding ‘orang kecil’?
Ini bukan tentang postur tubuh. Ini tentang pikiran, jiwa manusia. Bagaimana beda di antara mereka; orang besar, orang biasa dan orang kecil (kerdil)?

Small Minds discuss people, Average Minds discuss events, Great Minds discuss ideas”.

Artinya: “Pikiran Kecil membicarakan orang. Pikiran Sedang membicarakan peristiwa. Pikiran Besar membicarakan gagasan”.
Anies Baswedan dan mantan Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan; contoh orang dengan cara berpikir besar.
Anies Baswedan dan mantan Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan; contoh orang dengan cara berpikir besar.
Akibatnya: PIKIRAN KECIL akan menghasilkan GOSIP; PIKIRAN SEDANG akan menghasilkan PENGETAHUAN; dan PIKIRAN BESAR akan menghasilkan SOLUSI.
Ketiga jenis pikiran ini ada di dalam setiap otak kita. Pikiran mana yang lebih mendominasi kita, begitulah apa yang dihasilkannya. Kalau setiap saat otak kita dipenuhi oleh Pikiran Kecil, maka kita akan selalu asyik dengan urusan orang lain, namun tidak menghasilkan apa-apa, kecuali perseteruan. Tetapi bila Pikiran Besar yang mendominasi, maka ia akan aktif menemukan terobosan baru.
PIKIRAN KECIL senang menggunakan kata tanya “SIAPA”, PIKIRAN SEDANG senang menggunakan kata: “ADA APA”, sedangkan PIKIRAN BESAR selalu memanfaatkan kata tanya: “MENGAPA” (why) dan “BAGAIMANA” (how). Itu sebabnya dalam  skripsi (S1) mahasiswa disuruh mencari ‘ada apa’ (what), sedangkan dalam membuat thesis (S2) mahasiswa mencari jawaban atas pertanyaan ‘why‘ dan ‘how‘.
Otak dan fungsi-fungsi psikologis yang berbeda di dalamnya
Otak dan fungsi-fungsi psikologis yang berbeda di dalamnya
Maka, ketika seseorang melihat peristiwa jatuhnya apel dari pohonnya, akan ditanggapi berbeda:
  • Si PIKIRAN KECIL akan tertarik dengan pertanyaan : “SIAPA SIH YANG KEMARIN KEJATUHAN BUAH APEL?”
  • Si Pikiran Sedang akan bertanya: “APAKAH SEKARANG BERARTI SUDAH MULAI MUSIM PANEN BUAH APEL ?”
  • Sedangkan Si PIKIRAN BESAR : “MENGAPA BUAH APEL ITU JATUH KE BAWAH, BUKANNYA KE ATAS?”.
Dan pikiran yang terakhir itulah yang konon mengisnpirasi SIR ISAAC NEWTON menemukan TEORI GRAVITASI-nya yang terkenal.
Terserah pada Anda, mau memilih jenis pikiran yang mana. Yang jelas, tidak ada satupun prestasi atau karya di dunia ini yang dihasilkan oleh Pikiran Kecil.
KESENANGAN MEREKA:
Ke-3 jenis pikiran ini juga mempunyai ‘MAKANAN’ FAVORIT yang berbeda. Si PIKIRAN KECIL biasanya senang melahap TABLOID, INFOTAINMENT, KORAN MERAH. Si PIKIRAN SEDANG amat berselera dengan KORAN BERITA; dan Si PIKIRAN BESAR memilih BUKU-BUKU/ ARTIKEL yang membangkitkan INSPIRASI, selain suratkabar berita

Kepada Para Gajah

Kepada Para Gajah

SETAHUN kemerdekaan, Dharta menyatakan sikapnya sebagai sastrawan di tengah api revolusi. Nadanya liris, bak surat untuk kekasih. Mungkin terbawa suasana sentimentil sejak jatuh hati pada Aini. Aini perempuan Minang, sekretaris pribadi Soekarno di Poesat Tenaga (Poetera).Ia sendiri anggota Angkatan Pemuda Indonesia (API). Kedua lembaga itu sama-sama berkantor di Menteng 31 Jakarta.

“Revolusi, kekasihku… Lama dikau kunantikan di taman masa, dari abad menjelang abad. Rinduku sesak-menyesak dan meletus bersama seruanmu yang menusuk jantung,” tulis A.S. Dharta, dengan nama pena Kelana Asmara, dalam esai “Sastrawan di Tengah Api Revolusi” yang dimuat di Gelombang Zaman.


Ia sudah memutuskan kodratnya: sastrawan turun dari ke-aku-annya, berdiri di pihak yang tertindas, menghunus pedang-kata menghadang kaum penindas! Sastrawan mesti berani terus menerompetkan kebenaran. Sastrawan menegakkan tenaga raksasa di hati massa, menempa keyakinan granit di kalbu patriot, memelopori massa ke arah cita yang tinggi murni: bandar humanisme damai bahagia.

Tapi seruannya menembus tembok tebal. Madiun pecah, pertikaian yang meneteskan darah. Sepasang kekasih ini, yang pernah ikut kursus “Marx-House” di pabrik gula Padokan (sekarang Madukismo) dan menempuh “perkawinan-senjata” dengan disaksikan kawan-kawan seperjuangan, terkena imbasnya. Aini dijebloskan ke penjara Tawangmangu, Dharta di Wirogunan.

Tak lama, Belanda memborbardir Yogya. Para tawanan berbaris menuju kantor penjara, minta bebas, untuk kembali membela tanah air. Keluarlah mereka sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dharta segera membebaskan istrinya, lalu meneruskan perjuangan. Ia meninggalkan istrinya di Yogya, berjalan kaki menuju pos baru, mendaki Gunung Slamet dan menuruni lembah-lembahnya.

Pada 1949, dia sudah berada di Jakarta. Juga menyempatkan diri menengok kampung halamannya di Hanjawar, Cianjur. Di rumah masa kecilnya, dengan nama pena Jogaswara, sekali lagi ia serukan peran sastrawan dalam revolusi. Revolusi belum juga usai tapi kini di ambang kehancuran dari dalam. Dia meluapkan amarah: “Angkatan 45 sudah mampus. Mati bunuh diri,” karena sudah bunuh-membunuh, hancur-menghancurkan, dan “Bila kita ingin mencari kuburan Angkatan 45, ia ada di mana-mana, tersebar di seluruh persada Nusantara. Tetapi kuburan-induknya ada di Madiun.”

Tapi Angkatan 45 taklah satu dan sendiri. Dia percaya akan datang “Angkatan Sesudah Kami” yang lebih lengkap, lebih sempurna, lebih kuat: angkatan pelaksana cita-cita Angkatan 45.

Martina Heinschke dalam “Between Gelanggang and Lekra” menulis, Dharta memilih Peristiwa Madiun bukanlah perselisihan antara kekuatan komunis dan nasionalis, tapi lebih sebagai konflik antargenerasi atau angkatan. Angkatan 45, “pemikul hari esok” itu, sepenuhnya gagal karena lemahnya komitmen, perpecahan, dan kurangnya ketajaman politik. Sebagai konsekuensinya, Dharta menuntut para pengarang membuat awal baru, berbasiskan komitmen politik yang tegas.

Dharta sendiri, dalam esai “Kepada Seniman Universal”, tak memaksudkan esai itu dalam kaitan konflik antargenerasi tapi lebih pada hubungannya dengan revolusi. Baginya, Agustus 1945 bukan permulaan revolusi dalam lapangan kesusastraan, tapi permulaan suatu revolusi kemasyarakatan. Kesusastraan terpengaruh olehnya dan “itu hanyalah bukti kesekian kalinya tentang kebenaran pendapat bahwa seorang sastrawan tak mungkin dan tak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya.”

Tapi mungkin Heinschke benar mengenai pengaruh esai itu, ketika menulis, “Selangkah demi selangkah, apa yang kemudian menjadi sikap Lekra, seperti tertuang dalam Manifesto tahun 1950, merupakan reaksi positif atas esai Dharta tersebut.”

Reaksi juga muncul dari sejumlah sastrawan: Ibarruri (nama pena Dipa Nusantara Aidit), Sugiarti, Sitor Situmorang, Anas Maruf, Achdiat Karta Mihardja, M. S. Ashar, Asrul Sani, dan lain-lain.

“Dalam politik Angkatan 45 kalah,” tulis Mochtar Lubis dalam “Hidup, Mati?” di majalah Siasat, 4 Desember 1949. Lubis menyinggung kemunduran revolusi.

Juist! Dan politik adalah pelopor dari segala perjuangan!” Dharta menanggapinya dalam esai “Sekitar Angkatan 45”.

Lebih jauh Dharta menggerakkan konsep yang lebih luas: susun barisan eksekutif baru. Sebab, yang lama terbukti tak mampu menyelesaikan revolusi. Apa yang disebut Angkatan 45 gagal dalam cara bekerja!

“Masa baru kini tiba. Masa organisasi, masa mewujudkan, masa bekerja wetenschappelijk plus energi jiwa patriot, masa kesadaran mengisi ucapan pemimpin-pemimpin kita: kemerdekaan adalah jembatan untuk melaksanakan kemakmuran rakyat. Kita tambahi: untuk membebaskan Rakyat dari segala macam penjajahan perut, kebodohan, kebiasaan bobrok, adat lapuk.”

Sebuah embrio organisasi baru mulai bersemi. Tapi pematangannya masih perlu waktu.

Dharta sendiri terpuruk karena kehilangan separo hatinya. Sang kekasih dikawin-paksa dan dibawa kabur ke negeri Belanda oleh Letnan Verwey, seorang perwira Nefis yang sudah lama menguber-uber Dharta, ketika dia melakukan kerja politik di Palembang. Dia ngeloyor masuk ke restoran, menuangkan bergelas-gelas bir ke dalam perutnya. Ia hidup beberapa hari semacam itu. Kawan-kawannya segera membawanya kembali dalam front perjuangan. Dia masuk serikat buruh untuk melawan keputusan Konferensi Meja Bundar di bidang perekonomian. Namun dia tak bisa melupakan sang kekasih, dan sejak itulah lahir nama pena Klara Akustia. “Aku tahu apa yang terjadi, dia adalah korban revolusi,” ujarnya kepada saya.

Pada 17 Agustus 1950, “barisan eksekutif baru” itu akhirnya lahir dengan nama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dharta ditunjuk sebagai sekretaris jenderal. Rumah M.S. Ashar, rumah Dinas Perhubungan di Jalan Wahidin No 10, tempat gagasan ini lahir, jadi kantor Sekretariat Pusat Lekra, setelah sebelumnya berkantor sementara di Salemba 9, Jakarta.

Menurut Martina Heinschke, di antara Angkatan 45, pengarang Lekra minoritas pada tahun-tahun pertama. Secara politik Peristiwa Madiun mengisolasi mereka, sementara dari sudut pandang artistik, reputasi mereka masih terbatas. Anggota Lekra juga tak masuk dalam aktivitas kebudayaan resmi, baik dalam kongres kebudayaan, Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, dan editorial Indonesia.

“Tesis provokatif yang dikemukakan Dharta mengenai kegagalan Angkatan 45 dan revolusi nasional bukan hanya menarik pengikut, juga menyatukan lawan terhadap gagasan ini,” ujar Heinschke.


DI DESA Tugu, Puncak, Bogor, sebuah vila berdiri anggun di tanah seluas satu hektar. Berlantai dua, berdinding kayu. Ia menghadap ke jurang. Di bawahnya mengalir sungai kecil. Pekarangannya luas dan bertingkat, dengan hamparan rumput menghijau, penuh mawar dan kembang teluki. Ketika dibangun pada 1949, suasananya masih sunyi. Jalan menuju vila tak beraspal, jadi becek kala hujan. Harimau sering turun gunung.

Si empunya rumah, Sutan Takdir Alisjahbana, sering datang di akhir pekan. Dia suka memandangi Gunung Gede di sisi selatan vila. Sesekali berenang. Tapi kegiatan utamanya tetaplah ajeg: membaca, menulis, dan melihat tetumbuhan di sekitar pekarangan.

Takdir ingin menjadikan vilanya, dalam istilah Asrul Sani, sebagai “salon kesusastraan atau seni”. Dia suka mengumpulkan seniman-seniman yang lebih muda darinya di vila, mempertemukan pemikiran-pemikiran yang berbeda.

Momennya juga tepat. Setelah Lekra, muncul Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG), yang terbit kali pertama dalam Gelanggang, sisipan majalah Siasat, Oktober 1950. Syahdan, SKG ini pernah dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes di Jakarta pada Juni 1950. Sejak itu Angkatan 45 dianggap telah pecah, mencari jalan sendiri-sendiri, membawa keyakinan masing-masing.

Awal 1950, apa yang disebut angkatan baru dan angkatan lama, dengan wakil-wakil terbaiknya, bertemu dan berhadap-hadapan: Asrul Sani dan Takdir. Asrul Sani merumuskan Angkatan 45, “bukan sekelompok pemuda, bukan prajurit yang berdiri di medan perang mempertahankan kemerdekaan negara, dan juga bukan suatu aliran kesusastraan, tapi sesuatu percobaan untuk mengadakan hidup baru.” Dan percobaan mencari hidup baru ini dipertentangkannya dengan angkatan Pujangga Baru di zaman kolonial. Baginya, Angkatan 45 mulai dengan kesangsian, yang dilahirkan di zaman Jepang dan revolusi.

Sebaliknya, Takdir melihat kesangsian dan percobaan mencari hidup baru itu sebagai karakter Pujangga Baru. “Begitu sangsi orang-orang Pujangga Baru itu kepada kebudayaan lama, kepada masyarakat kolonial, kepada bahasa Belanda, kepada Balai Pustaka, hingga mereka meninggalkan pantun dan hikayat, meninggalkan bahasa Belanda, meninggalkan Balai Pustaka, dan mulai bekerja dengan sebebas-bebasnya.”

S. Rukiah, yang meliput pertemuan itu, dalam majalah Pudjangga Baru, Februari 1950, menulis: “Pertemuan-pertemuan yang demikian itu pulalah yang memberikan corak kepada zamannya, dan menghidupkan dunia cipta dalam zaman itu.”

Tapi pembicaraan belumlah usai. Senja di tahun 1951, Asrul Sani kembali datang ke sana. Dia tak sendirian. Di dalam mobilnya ada Rivai Apin, Rustandi Kartakusumah, S. Nuraini, dan Samiati Alisjahbana. Di vila itu, hadir pula Amir Pasaribu, Baharudin, Henk Ngantung, Sudjojono, Hariyadi, Gajus Siagian, J. A. Dunga, dan Sam Udin.

Malam itu, yang mestinya jadi pembicara adalah anggota Lekra. Tapi karena belum juga datang, Asrul Sani yang mengajukan pembahasan. Diskusi membahas pesimisme dan epigonisme dalam sastra Indonesia, yang berlangsung sampai larut malam. Catatan pertemuan ini dituliskan Asrul Sani dalam “Sebuah Pembelaan”, yang dimuat di Siasat, 20 Mei 1951, lalu masuk dalam bukunya Surat-Surat Kepercayaan.

Pada pertemuan berikutnya, Dharta dan Njoto datang mewakili Lekra. Sementara dari “pihak lawannya” terdapat Sutan Takdir Alisjahbana, Ir Udin, Resink, R. Nieuwenhuis, Beb Vuyk, Rustandi, Trisno Sumardjo, dan Basuki Resobowo. Boejoeng Saleh dari Lekra dan Asrul Sani dari Gelanggang akan menguraikan soal kebudayaan rakyat serta kebudayaan dan politik. Keduanya tak datang, dan Takdir-lah yang mengupasnya.

Takdir mengupas fungsi seni dalam masyarakat yang “bulat” seperti dalam masyarakat primitif dan dalam masyarakat yang terpecah-pecah seperti di Barat. Lalu sampailah dia pada kesimpulan bahwa yang primer pada seni itu adalah bentuk yang harus indah.

Dharta bereaksi, mencap seni yang hanya mengutamakan bentuk yang indah dan mengabaikan isi sebagai seni formalis. Bagi Lekra, bentuk dan isi itu primer, tak bisa didahulukan yang satu dari yang lain.

“Seni yang indah bentuknya tapi busuk isinya, seperti film-film Amerika yang memperkosa hak-hak kemanusiaan, dengan mempertunjukkan diskriminasi ras terhadap orang-orang Niger yang dianggap sebagai orang-orang jahat dan sebagainya, adalah salah satu contoh dari seni formalistis yang berbahaya. Seniman yang jujur macam Multatuli pernah marah, karena orang hanya memuji gaya bahasanya yang indah, tapi kurang mempedulikan isi karangannya. Padahal yang menjadi maksud utama dari Multatuli ialah mengemukakan isinya,” ujar Dharta.

Bagi Resobowo, isi itu hanyalah objek. Dan baginya objek itu bisa apa saja asalkan merupakan suatu belevenis (cerita) dari penciptanya.

Takdir mengatakan isi itu penting, dan seni yang besar merangkum pula soal-soal besar mengenai seluruh masyarakat. Dia mengkritik seniman Indonesia sekarang yang melihat ke Barat tanpa menyadari soal-soal kita sendiri.

Diskusi lalu mengalir ke soal pesimisme dan elan. Njoto bicara banyak seniman Indonesia yang penuh elan dan optimistik. Trisno Sumardjo melihat kemajuan dalam seni lukis. Resink menyoroti kemenurunan elan dari orang-orang yang dulu penuh elan. Selesai.

Achdiat K. Mihardja dalam laporannya di Pudjangga Baru, Februari 1951, menulis pertemuan semacam ini, “…menghilangkan ketegangan yang biasanya timbul dalam konfrontasi antara ideologi dan ideologi.”

Perbedaan pandangan antara Lekra dan Gelanggang pada awal 1950-an masih dianggap wajar. Asrul Sani dalam Siasat, Desember 1953, yang juga termuat dalam Surat-Surat Kepercayaan, menulis perbedaan keduanya baru pada penamaan, orientasi, dan penghargaan tapi belum pada produksi (karya). Semata-mata karena keduanya belum lagi beroleh bentuk.

Dalam esai “Dari Idealisme ke Realisme”, Dharta menulis Angkatan 45 menjadi dua: kesusastraan idealisme dengan etiket “humanisme universal” sebagai konsep perjuangan dan kesusastraan realisme-kreatif dengan konsep perjuangan kesusastraan untuk rakyat-banyak. Keduanya masih masih diikat dan sependirian bahwa revolusi tak mencapai tujuan.

“Dalam detik perjuangan sekarang, dalam praktiknya, keduanya bersatu dan mesti dapat bersatu,” tulisnya. Tapi, dia yakin faktor sastrawan generasi baru akan mendorong kebangkrutan humanisme universal dan kebangkitan realisme-sosialis.

Upaya Takdir tentu lebih bermakna ketimbang apa yang terjadi di tahun-tahun kemudian, ketika perbedaan disikapi dengan pertentangan. Kini, di sudut kanan halaman depan vilanya, tepat di bawah serumpun bambu, tampak nisan dari batu marmer berwarna putih dengan torehan nama: Sutan Takdir Alisjahbana. Februari tahun lalu, 100 tahun kelahiran pujangga ini dirayakan di sini. Takdir meninggal pada 17 Juli 1994.


HANS BAGUE JASSIN berbadan gemuk. Pipinya agak tembam. Ada tahi lalat di pipi kirinya. Jassin dikenal sebagai kritikus sastra terkemuka sesudah perang, sehingga mendapat julukan “Paus Sastra Indonesia”. Jassin pulalah yang membela hak hidup Angkatan 45, dan mempopulerkan Chairil Anwar sebagai pelopornya.

Dharta menganggap Jassin sebagai kawan yang menyenangkan. “Saya bersahabat betul dengan Jassin. Dia sebagai manusia mempunyai pengertian; berlelucon, jalan-jalan. Sama dia jadi manusiawi, meski dalam beberapa hal berbeda pendapat,” ujar Dharta kepada saya.

Perbedaan pendapat terjadi di halaman-halaman koran. Jassin menulis esai “Angkatan 45” dalam bulanan Zenith, edisi kebudayaan mingguan Mimbar Indonesia No. 3 tanggal 15 Maret 1951. Dalam esai itu Jassin menyoroti esai Dharta soal kemampusan Angkatan 45. Dharta menjawabnya melalui esai “Kepada Seniman Universal”.

Jassin menulis, orang terlalu melihat beberapa pemuka Angkatan 45, seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani, dari satu sudut dan mengurangkan sudut lainnya. Chairil Anwar menulis “Aku Ini Binatang Jalang” tapi juga membuat sajak “Diponegoro”, “Beta Pattiradjawane”, “Kenanglah Kami”. Orang menafsirkan sajak-sajak mereka secara dangkal dengan pengenalan yang dangkal pula. Dharta bersepakat soal pemuka Angkatan 45. Tapi Dharta tak mau Angkatan 45 hanya dipakai sebagai etiket, sementara karyanya tak selaras dengan isi nama itu.

Jassin menulis soal kekuatan tenaga kata-kata “yang mengandung pikiran-pikiran paling dalam” dalam perjuangan. Dharta sependapat, tapi, “Pikiran-pikiran dalam yang bagaimana?” tanyanya. “Kalau hanya mempersoalkan masalah perseorangan, tidak ada sangkut-paut dengan masalah manusia-banyak, maka ‘pikiran dalam’ itu hanya dalam dan dianggap berguna oleh beberapa gelintir orang. Dan ini adalah individualisme.”

Bagi Jassin, meski berlainan visi di antara Angkatan 45, dalam satu hal mereka sama, yakni dalam gaya (bentuk). Bagi Dharta, isi dan bentuk adalah suatu kesatuan syarat yang tak bisa dipisah-pisahkan, dinomorsatuduakan. Jassin visi dan gaya, Dharta isi dan bentuk.

Jassin memajukan konsep Angkatan 45, yakni humanisme universal, meski “Satu keberatan bisa dikemukakan terhadap keuniversalan ini. Sangat banyak kemungkinan, tapi toh orang harus memilih dalam praktiknya dan apabila telah memilih boleh bertengkar lagi.”

Dharta tak setuju dengan konsep humanisme universal, yang baginya adalah baju baru untuk l’art pour l’art. “Di dalam praktik kita melihat, bahwa ‘seni universal’ dipergunakan untuk lebih menjauhkan, untuk lebih mengasingkan, seniman dan seni dari masyarakat. … Dengan ini menjadi jelas, bahwa kesusastraan universal tidak netral, tidak berdiri di atas segala. Di dalam praktik dia menjadi sekutu kelas yang antiperubahan masyarakat ke arah perbaikan.”

Tulisan Jassin juga penuh berisi perbedaan antara Angkatan 45 dan Pujangga Baru, dengan titik berat pada gaya. Di akhir tulisannya, Jassin mengajak bicara tentang pengarang orang per orang, “asal kuat pribadinya”, ketimbang bicara soal angkatan. Dharta menganggap kalimat itu banci —menyebut ucapan terakhir dalam karangan itu meruntuhkan apa yang sudah Jassin bangun dan pertahankan. Dharta melihat Angkatan 45 dalam hubungannya dengan revolusi, di mana kesusastraan terpengaruh olehnya, dan sekali lagi membuktikan bahwa seorang sastrawan tak mungkin dan tak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya.

Jassin menyinggung perdebatan itu dalam surat kepada Aoh Karta Hadimadja, yang kemudian dimuat dalam syarahan Mingguan Mimbar Umum, 9 Desember 1951. Dharta menjawabnya lewat esai “Kita Adalah Anak Zaman” yang terbit di Pudjangga Baru pada 1952 dan diterbitkan ulang Lentera, Bintang Timur, pada 1962.

Dalam surat itu Jassin menjelaskan soal isme-isme dan —tersirat sependapat dengan Asrul Sani— menolak penamaan dengan isme-isme. “Karena itu kita bisa mengerti sikap sebagian seniman yang mengatakan bikin saja sebagaimana yang kau rasa paling baik. Dan inilah yang disebut orang pula l’art pour l’art dengan hukumnya sekali seni individualistis, dengan pengertian yang jelek. Tetapi adakah l’art pour l’art harus jelek, sifat hasilnya harus individualistis?”

Dia juga balik bertanya: “adakah kemungkinan semua baik dan bagus atau semua jelek dan buruk?” Bagi Dharta, Jassin menempatkan dirinya di atas segala dan ini adalah penyakit dewa-dewaan.

Jassin juga menolak penyamarataan Angkatan 45 punya visi individualis, karena Angkatan 45 heterogen. Tulisnya: “Seni Angkatan 45 ialah seni universal, dasar-dasarnya tempat mencipta boleh berlain-lainan, tapi dalam keseluruhannya, sebagai hasil ciptaan, harus mencapai keuniversalan.”

Dharta sekali lagi menegaskan pendirian Lekra: menolak l’art pour l’art. “Ini adalah formalisme: nomor satu bukan pandangan hidup yang dimanifestasikan oleh hasil seni, tetapi bentuk hasil seni itu mesti berseni. Biar pandangan hidupnya bertentangan dengan kepentingan rakyat, hasil sastra adalah sempurna kalau syarat-syarat seninya dipenuhi!” tulis Dharta.

Dalam surat kepada Aoh K. Hadimadja, tertanggal 15 Desember 1951, Jassin tidak menyinggung lagi esai Dharta. Dia lebih menjawab pertanyaan Aoh tentang humanisme universal. Jassin mulai memakai kata “humanisme” dalam kata pengantar Gema Tanah Air tahun 1948, yang merupakan reaksi kritis atas pemikiran “humanisme” para seniman dalam redaksi Gema Suasana. Dia senang, setuju dengan tendens humanisme, tapi juga galau ketika tahu mereka tanpa sadar jadi alat politik Belanda. “Humanisme universal” lalu didukung Jassin ketika konsep itu diangkat oleh Surat Kepercayaan Gelanggang.

Kepada Iramani (nama pena Njoto), Dharta mengatakan, “Jassin hanya mencari untuk mencari, sedang aku sudah tahu di mana tempatku.” Dan Iramani menambahkan: bagi seniman, tahu menempatkan diri adalah salah satu soal terpenting!

Pertemanan mereka taklah runtuh oleh perbedaan itu, mungkin justru mendekatkan keduanya. Beberapa kali Dharta mengirim surat dan kartu pos untuk Jassin. Di bawah isi suratnya, sebelum tertera namanya, dia menulis “sahabat”.

Salah satu surat, tertanggal 20 Februari 1953, dikirim dari Wina, Dharta menulis: “… ini gambar tempat istirahat buruh di Rumania, yang memang bukan sorga, tetapi yang terang kehidupan bersinarkan kegembiraan dan harapan dan di mana manusia adalah manusia dengan segala sifatnya yang baik.” Ya, Dharta ingin menunjukkan dunianya pada Jassin.

Jassin juga bukan orang yang membedakan lawan dan kawan. Sajak Dharta “Nyi Marsih”, misalnya, dimuat di majalahnya, Siasat, tahun 1951 karena dinilainya sebagai sajak yang berhasil, isi dan bentuknya mencapai kesatuan yang harmonis.

Tak ada demarkasi antara kawan dan lawan, masing-masing menjauhi permainan hitam-putih —seperti larik puisi Dharta untuk HB Jassin “Antara Bumi dan Langit”.

“Kita tetap melihat lebih besar dan lebih kuatnya persamaan antara kita dan kita daripada perbedaannya,” tulis Dharta dalam “Kita adalah Anak Zaman Kini”. “Orang boleh bebas menganut faham pendirian seninya, tapi orang tidak bebas untuk tidak memperhatikan masalah bangsanya, dan kemudian masalah dunia. Ini yang kita harap!”


PADA 7 Maret 1956, Dharta mengirimkan kartu pos untuk karibnya, Samandjaja: “Saya tebak Bung sudah terima surat Sekretariat Pusat tentang research perkembangan kesusastraan. Saya harap… Belum adanya jawaban Bung tentang ini dan tentang Pleno yang akan datang…. Kami pikirkan acaranya sekitar realisme. Jangan kita simpang siur dalam interpretasi subjektif.”

Bulan-bulan ini Dharta begitu getol mengirimkan surat untuk Samandjaja. Pikirannya selalu bekerja, mencari cara memajukan Lekra. Dalam surat-surat itu, selain soal-soal pribadi, dia mengajukan riset perkembangan kesusastraan, gerakan penilaian secara massa, penerbitan kumpulan puisi bertemakan sama, permintaan naskah untuk Zaman Baru, dan sebagainya.

“Berbaris juga suratku ini, bukan? Nyaris saban hari. Soalnya sangat sederhana: saya butuh omong. Omong yang bisa melahirkan perbuatan praktis dan yang bisa mempertinggi diri,” tulis Dharta dalam surat kepada Samandjaja, 10 Maret 1956.

Kala itu Samandjaja, nama lain Oey Hay Djoen, dikenal sebagai pengusaha nasional yang berkomitmen sosial tinggi. Dia jadi anggota Konstituante mewakili Partai Komunis Indonesia, juga bergabung dengan Lekra di Semarang. Ketika pada 1957 pindah ke Jakarta, karena ditarik ke sekretariat pusat Lekra, dia menawarkan rumahnya di Jl Cidurian 19, di kawasan Cikini, sebagai sekretariat, menggantikan kantor sebelumnya di Jl Dr Wahidin yang tak memadai lagi.

Dalam surat balasannya dari Semarang, tertanggal 8 Juni 1956, Samandjaja memberi sambutan yang hangat atas anjuran Dharta soal riset dan seruan penilaian secara massa. Tapi, “Menurut hematku, dalam hal kedua persoalan, segi di atas ini saja sudah terkandung suatu problem yang maha besar. Sebab ia menentukan posisi kita selanjutnya. Ia menuntut dari kita pemecahan soal cara kerja, soal ‘dari mana memulai’ pekerjaan. Terang, keduanya tidak bisa dilepas-lepaskan. Tetapi terang pula: sistimatik dalam penyelesaian pekerjaan harus ada.”

“Untuk sampai pada keputusannya, masing-masing soal perlu lebih dulu diperbincangkan secara mendalam, bukan sepintas lalu.”

Samandjaja sadar balasan suratnya agak ekstrim. Dia ingin tak ada yang menggantung. Seruan “penilaian secara massa” misalnya —belakangan terbit di Harian Rakjat, 30 April 1956. Tanpa cara kerja, meski Sekretariat Pusat Lekra bersedia membantu siapa pun yang memerlukan keterangan, ia bisa menyulitkan.

Saya tak menemukan jawaban Samandjaja soal sidang pleno. Sebagai anggota pleno Sekretariat Lekra, Samandjaja mendapat undangan itu. Sidang Pleno itu diadakan di Jakarta pada 27, 28, dan 29 April 1956. Agenda acaranya: “Realisme Sosialis, dalam pengertian dan pekerjaan kita”. Semua anggota pleno diundang, juga di luar anggota seperti Basuki Resobowo, Rivai Apin, Hendra Gunawan, dan Boejoeng Saleh. Saya juga tak menemukan hasil pleno ini.

Tapi, realisme sosialis adalah konsep berkesenian Lekra yang amat penting. Dharta memperkenalkan konsep ini sejak 1951 lewat esai “Dari Idealisme ke Realisme”, meski tidak secara utuh. “Realisme adalah kesusastraan yang menggambarkan kenyataan. Tetapi ini saja tidak cukup. Kesusastraan seharusnya menggambarkan, membongkar kenyataan, plus memberi jalan kepada manusia. Dan inilah realisme kreatif,” tulis Dharta.

Tanpa kejelasan, menyulitkan dalam tataran praktik, berkembanglah penafsiran-penafsiran subjektif di antara seniman Lekra. Tapi realisme sosialis bukanlah konsep yang selesai, masih terbuka bagi kritik. Itulah kenapa perlu pembahasan.

“Realisme sosialis ada setelah Lekra. Itu kan dari Prof. Lukács, dari universitas Hongaria. Maksudnya supaya peranan rakyat, bekerja, ditekankan dalam hasil-hasil kesenian. Supaya hasil-hasil kesenian bersih dari unsur feodal dan borjuis,” ujar Dharta kepada saya.

Georg Lukács adalah filsuf dan kritikus sastra Hongaria, profesor estetika dan filsafat kebudayaan pada Universitas Budapest (1945-1956). Estetika Lukács, seperti dikutip Eka Kurniawan dalam Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, menekankan hubungan-hubungan sosial sebagai dasar estetikanya. Menurutnya, subjek suatu kreasi seni bukanlah manusia yang dilihat secara statis, yang membuat kreasi seni itu jadi condong kepada subjektivisme dan semboyan. Sastra haruslah dinamis, menata karakter-karakter dalam perspektif sejarah serta memperlihatkan arah, perkembangan, dan motivasi. Agar sastra menjadi dinamis, gerak sejarah utama saat ini haruslah diperhitungkan. Pada abad ke-20, gerakan itu adalah sosialisme. Karenanya gaya sastra kontemporer yang benar, menurutnya, hanyalah realisme sosialis, yang secara praksis berdampingan dengan gerakan sosialis.

Cikal bakal realisme sosialis dipercaya sudah hadir sejak terbit novel Gorky Mother, yang dianggap sebagai karya puncak realisme sosialis, pada 1906. Artinya, dalam pengertian Pram dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, istilah realisme sosialis timbul jauh setelah pempraktikkannya. Istilah itu sendiri baru diperkenalkan dalam Kongres I Sastrawan Soviet di Moskwa pada 1934 oleh Andrei Zdanov.

Menurut Dharta, kesusastraan yang berorientasi kerakyatan tidak dimulai oleh Lekra. Dia menyebut karya-karya Asmara Hadi, Sanusi Pane, dan Aoh Karta Hadimadja. Lekra hanya menjadi penerus, yang melanjutkan, dalam suasana dan manusia Indonesia menurut zamannya. “Lekra telah merumuskan garis orientasi kerakyatannya sebagai garis realisme-kreatif. Realisme yang mempunyai kearahan, yang mempunyai sasaran dan tujuan. Dalam kekaburan pengertian inilah masih merajalela kekaburan pengertian tentang Lekra,” tulisnya dalam esai “Kesusastraan Ke Arah Emansipasi Petani”.

“Realisme yang dianut Lekra bukan “art of facts”…. Tapi kenyataan dengan segala kemungkinan dan perkembangannya.”

“Realisme-kreatif itu sendiri tidak berarti siap-selesai di dalam kelanjutannya. Ia hanya baru menyelesaikan segi orientasinya!”

Taklah berlebihan jika ia dianggap belum sepenuhnya berhasil diterapkan seniman-seniman Lekra. Banyak pula yang menilai rendah mutu karya-karya Lekra, dari dalam maupun luar Lekra. Dalam pertemuan Lingkaran Sastra Lekra cabang Jakarta tahun 1956, terlontar pernyataan serupa: sajak-sajak penyair Lekra umumnya dianggap agitasi, bertendens, dangkal, tak memenuhi syarat-syarat sajak. Ia tidak baik, tidak artistik. Ia bukan sajak, bukan hasil sastra.

Dharta menerima sekaligus mempertanyakannya ukuran apa yang dipakai. Dia mengajak bersikap kritis dan melakukan studi, di sisi lain menekankan —seperti judul esainya— “Penilaian adalah Hasil dari Suatu Sikap Hidup”.

“Ya iya dong masak kita mesti sempurna? Selama masih ada penghisapan oleh manusia atas manusia, selama masih ada sistem kelas, selama itu kekurangan itu tidak bisa hapus, akan selalu ada,” ujarnya kepada saya.

“Stalin ngomong ‘Nothing is perfect nothing, even communism is not perfect’. Komunisme juga tidak sempurna. Tidak ada yang sempurna! Dalam perbandingan antara komunisme dan kapitalisme, komunisme lebih baik. Kalau kapitalisme itu mempertahankan adanya sistem penghisapan kelas, kalau komunisme mau menghapuskannya.”

Karena ketaksempurnaan itu pula dia menyerukan agar tak henti-henti memperfeksi diri. Dia menulis, menerjemahkan, tulisan-tulisan yang menggambarkan perkembangan kesusastraan di negara-negara sosialis, agar jadi bahan berguna bagi para pengarang. Semuanya disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat.

Pidato Mikhail Sholokhov, pengarang terkemuka Soviet, dalam Kongres Partai Komunis Uni Soviet, tak ditelannya mentah-mentah. Sholokhov menganjurkan agar sastrawan hidup di tengah masyarakat, sekaligus membebaskan diri dari segala yang menghambat kerja kepengarangan. “Kita paling banter bisa menganjurkan supaya pekerjaan organisasi itu jangan menelan kegiatan mengarang. Malahan mesti bisa mengatur demikian, sehingga pekerjaan organisasi bisa menjadi rangsang dan sumber bahan untuk mengarang, untuk mencipta,” tulisnya dalam “Menilai dan Menafsirkan Pidato Sholokhov”.

Pada Konferensi Nasional II, 28 Oktober 1957, ketika menyampaikan laporan Sekretariat Pusat Lekra, Dharta kembali menekankan kerja keorganisasian yang mendorong “kelahiran penciptaan-penciptaan yang bernilai” dan “tidak mutlak harus menjadikan diri kita semacam robot.” Dalam laporan itu pula dia menyimpulkan kegiatan-kegiatan Lekra sudah membawa kemenangan azas kerakyatan atas paham ”seni untuk seni”, “ilmu untuk ilmu”, dan “filsafat untuk filsafat”.

Tapi, sejak awal, dia sadar keterbatasan dirinya sebagai manusia. Dalam suratnya kepada Samandjaja, 4 Februari 1956, dia sudah menuliskannya: “Kadang-kadang diriku malu oleh kebesaran kasih manusia. Malu karena aku tak becus untuk melukiskannya secara tepat, secara memadai. Apa boleh buat, tugas kita, hanya memberikan maksimum yang ada pada kemampuan kita. Intensif dan tak bersyarat!”


SEBUAH kudeta merangkak menenggelamkan semuanya. Gerakan kebudayaan itu langsung habis begitu Soeharto melancarkan ”gerakan pembersihan”. Para aktivitasnya dipenjara dan sebagian dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan. Lekra dianggap sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia, partai yang dipersalahkan atas peristiwa pembunuhan para jenderal.

Hubungan PKI dan Lekra ibarat minyak dan air. Aidit ingin Lekra jadi organisasi resmi PKI. Salah satu resolusi rapat Pleno II CC PKI pada 1963 adalah menggelar Konferensi Nasional Sastra dan Seni, yang akhirnya diadakan pada 27 Agustus hingga 2 September 1964 dengan nama Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner.

“Siapa? Dari mana?” tanya Dharta kepada saya. Nadanya keras.

“CC PKI.”

“Tidak logis, secara teori nggak kena!” ujarnya. “Dasar teorinya apa? Nggak ada. Pertama dasar teorinya bagaimana perbandingan di partai yang sudah ada, apa itu di partai luar negeri. Nggak ada! Siapa anggota CC itu? Akh, ngawur itu! Terbelakang sekali orang itu!”

“Intinya kan mengingatkan bahwa kebenaran itu tidak dimonopoli oleh PKI. Ada kebenaran lain yang sama, kebenaran yang diperjuangkan oleh kebudayaan, oleh Lekra, oleh kultur. Jangan ada anggapan bahwa partai itu sempurna!”

“Apakah dia tidak tahu bahwa (perlu) ada faksi supaya jadi tantangan untuk menguji hingga di mana salah-benarnya PKI. Ini kan malah menguntungkan PKI. Itu bagaimana sih sampai nggak ngerti!”

Saya tak pasti apakah dia benar-benar tidak tahu, mengingat kedekatannya dengan Aidit. Tapi ketika itu berlangsung, di tahun 1964, tempatnya bukan lagi di Lekra —meski dia menjadi salah satu peninjau dalam Konferensi Lekra di Palembang. Sejak 1962, Dharta mendirikan dan memimpin Universitas Kesenian Rakyat di Bandung, yang kemudian juga hancur oleh “pembersihan”.

Dharta sendiri diciduk di rumahnya di Bandung, lalu masuk penjara Kebonwaru. Selepas dari penjara tahun 1978, nama A.S. Dharta seolah menghilang. Banyak kawannya yang bahkan mengira dia sudah meninggal dunia. Padahal, dia berada di Cianjur, di rumahnya yang asri. Sehari-hari dia hanya membaca koran, buku, atau menonton sepakbola. Belakangan, sesekali dia menelpon atau menemui teman-temannya yang bertandang ke rumahnya. Dua tahun lalu saya mengenalnya, berdiskusi dengannya, bahkan menjadi bagian dari keluarganya.

“Hormat kepada Tursaho. Dia bisa bikin saya 15 tahun nggak ngapa-ngapain. Dia berhasil membikin saya lumpuh, membikin saya impoten tanpa penyakit AIDS. Hebat dia! Hebat Maestro! Hebat Tursaho!” ujar Dharta kepada saya, berkelakar. Tursaho adalah Soeharto —Dharta memang suka memelesetkan nama orang.

Orde baru memasungnya, juga jutaan orang Indonesia. Tapi apa yang dibangunnya pada 1950 seolah masih hidup, dalam bentuknya yang paling buruk. Kasar. Main sikat. Tukang berangus. Banyak orang merujuk buku Prahara Budaya karya karya Taufik Ismail dan D. S. Moeljanto.

“Taufik Ismail itu ngomong bahwa kita tuh ... kan nggak pernah sebut fakta toh! Jadi kapan kita merugikan mereka kan nggak ada. Kenapa tidak turun kepada fakta. Sebutkan dong! Kemungkinan benar, kenapa tidak! Karena Lekra kan tidak mungkin beres, selalu beres, kenapa tidak mungkin salah!”

Tapi roda sejarah sudah berputar. Sejarah ”versi pemenang” terus direproduksi. Penelitian Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and Art, secara khusus mempelajari pergulatan gagasan tentang kesatuan atau keterpisahan antara seni (sastra) dan politik. Robohnya orde lama oleh Foulcher tidak hanya dipandang sebagai awal kebangkitan dan kejayaan orde baru, tapi juga kemenangan pengikut pandangan sastra universal.

Dan kemenangan itu membawa kemapanan. Arief Budiman, salah seorang penandatangan Manifest Kebudayaan, yang pada 1968 menolak nilai universal dalam kesusastraan, melihat sejarah kesusastraan Indonesia modern sudah tidak sehat lagi. Kesusastraan “universal” berjaya secara mapan, hampir-hampir tanpa saingan dan tandingan. Pada 1984, bersama Ariel Heryanto, dia menggagas “sastra kontekstual”. Gagasan itu menyiratkan keinginan sastrawan muda untuk meninjau kembali nilai-nilai sastra yang mapan dan peranan sastra dalam perubahan sosial. Gagasan ini mengingatkan saya pada esai Dharta menjelang tahun 1950 —mungkin juga semangat kelompok Manifest Kebudayaan pada 1960-an.

Tapi lagi-lagi, sastrawan generasi tua khawatir status quo-nya akan tergerogoti, juga takut bangkitnya “musuh” lama: Lekra. “Sastra kontekstual” pada 1984 dihubung-hubungkan dengan Lekra. Arief Budiman dianggap sebagai pembela Lekra. Tinjauan kritis tak pernah mencapai hasil. Menurut Ariel Heryanto dalam “Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir” di majalah Prisma tahun 1988, pertentangan di masa lalu antara Lekra dan Manifest berakhir pada lingkup politik, tapi belum tuntas dalam tingkat konseptual dan emosional.

Kumpulan esai ini menjadi sebuah upaya untuk menghadirkan kembali pemikiran dan perdebatan yang muncul di awal 1950-an, dalam tataran konseptual (merujuk artikel Heryanto), ketika kepentingan politik belum muncul dan saling serang tidak dijadikan senjata.

Generasi muda sekarang jauh lebih kritis. Mereka tak mau tafsir tunggal, bahkan dari pihak yang sekarang kalah sekalipun. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, sikap itu tampak jelas. Saut Situmorang, sastrawan asal Yogyakarta, pernah mengeluhkan generasinya yang terjepit di antara “dua gajah”. Saya menyalahkan kenapa mau terjepit, atau diam kena jepit. Dalam kesempatan lain, saya juga meminta seniman-seniman tua untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri, atau membuka dialog sejarah dengan generasi di bawahnya.

Begitu sulitkah dialog yang tua dan muda?

Ketika itu tampaknya sulit terwujud, esai Dharta terngiang di benak saya, dalam bentuknya yang baru: “Angkatan Lekra sudah mampus, angkatan Manifest Kebudayaan sudah mampus, karena sudah bunuh-membunuh, hancur-menghancurkan.” Generasi baru mesti menegaskan sikap generasinya.

Pada 7 Februari 2007, A.S. Dharta menghembuskan nafas terakhir di rumahnya di Cibeber, Cianjur. Satu per satu yang tua mati, yang muda tumbuh.

Pada akhirnya gajah-gajah itu hanya akan meninggalkan gading. Generasi sekarang mungkin tak akan menemukan kebenaran tunggal. Tapi sudah semestinya, seperti dalam permainan pinsut, semut selalu menang lawan gajah. Generasi sekarang harus membuat sejarahnya sendiri.*

Ambang Petang, beranjak dari
dermaga lengang selepas hujan
Langit mengirim kelabu pucat
Angin mengirim dingin
Sungai mengirim keruh
Dan kau mengirim mimpi

Sengaja saya mengutip penggalan puisi murung yang ditulis penyair Amrin Zuraidi Rawansyah sebagai pembuka dari catatan ini. Catatan dari sebuah perayaan antologi sajak delapan penyair dari sebuah sudut Indonesia yang sekian lama tersembunyi dari hiruk-pikuk kesusastraan Indonesia, yakni delapan penyair dari Kalimantan Barat.

Kalimantan Barat, sebuah kawasan luas yang dalam sejarahnya selalu dihubungkan dengan kekayaan hutan, kekayaan bumi, serta manusia-manusia Melayu, Dayak, Tionghoa, dan para pelintas batas Malaysia. Sejauh mata memandang, dari pantai landai Pontianak hingga Pemangkat, dari pancang tengah Singkawang hingga ketinggian Bengkayang, dataran luas ini menyimpan ribuan kisah tentang hamparan karet, lada, kopra, sawit, jeruk, hingga batubara dan ladang emas. Kalimantan Barat, seperti halnya daerah-daerah terluas lainnya di Indonesia, adalah penyangga penting bagi hadirnya Republik Indonesia, penyumbang devisa bagi megahnya Jakarta, hingga penjaga teguh sebagian perbatasan darat Malaysia.

Tentu, hamparan kisah yang tertanam pada bumi yang luas ini, menjadi catatan penting ketika seorang penyair kemudian lahir di sana, dan menuliskan puisi-puisinya. “Puisi tidak lahir dari sebuah kekosongan, sebab penyair selalu mencatat apa yang didengar dan dirasakan,” begitulah setidaknya pengertian yang saya yakini tentang puisi. Seperti kata Rendra dalam puisinya, yang mengatakan bahwa “puisi adalah sebuah kesaksian,” //… Aku mendengar suara/jerit hewan yang terluka/ada orang memanah rembulan/ada anak burung terjatuh dari sarangnya/orang-orang harus dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan bisa terjaga//. Maka kehidupan di bumi Kalimantan Barat adalah juga kehidupan yang subur dengan inspirasi, kehidupan yang subur dengan kegelisahan, dan dengan kesaksian-kesaksian.

Delapan penyair dari kawasan ini, kini mencatatkan kesaksiannya, setelah lama terkubur dan lenyap dari perbincangan kesusastraan Indonesia selama bertahun-tahun. Setidaknya, ketika perbincangan kesusastraan Indonesia dari kawasan Pulau Kalimantan dibicarakan, maka yang muncul adalah dominasi Kalimantan Selatan, lalu disusul dengan Kalimantan Timur. Sedangkan Kalimantan Barat, selalu terdengar sayup-sayup, bahkan hampir tanpa kabar.
Maka dengan terbitnya buku ini, seolah-olah menegaskan kembali bahwa kehadiran sastra di bumi Kalimantan Barat masih ada. 

Delapan penyair yang rata-rata berusia muda, menuliskan kesaksiannya dengan beragam tema yang mengusik. Seperti halnya kutipan penggalan puisi murung “Menuju Kubu” pada awal tulisan, yang merupakan salah satu dari sepuluh puisi yang ditulis oleh penyair Amrin Zuraidi Rawansyah. // … Langit mengirim kelabu pucat/Angin mengirim dingin/Sungai mengirim keruh/Dan kau mengirim mimpi//. Suara lirih ini seakan mewakili doa dan sekaligus harapan bagi bumi kelahiran.

Di belahan lain, rintihan yang lebih gamblang dikumandangkan oleh Wisnu Pamungkas. Puisinya yang diberi judul “Mitos Ruang”, dengan tegas mempertanyakan tanggungjawab dari kesalahan segelintir manusia yang harus ditanggung akibatnya oleh segenap keturunan, menjadi kutukan yang tak lekang dimakan waktu. //Berjuta-juta tahun kemudian/Ruang-ruang dibajak, dikapling-kapling seperti tanah/Diberi patok, diukur ulang/Bagi yang bukan keturunan ular beludak dilarang masuk/Tak seorang pun sadar kalau saat ini tempat itu telah jadi perangkap//. Betapa mengerikan sebuah desain peradaban yang diputuskan berdasarkan keuntungan sesaat, sehingga seorang penyair mentasbihkannya sebagai sebuah kutukan yang abadi. Wisnu Pamungkas telah menggunakan perangkat metafor verbal, akan tetapi menyimpan kecerdasan dalam membangun logika puisi, menjadi sebuah tema yang keras dan satir. Kita lihat misalnya pada puisi Negara Kelamin. Ia dengan enaknya memperolok sejarah, dengan cara mempermainkan logika, sehingga sejarah pada akhirnya hanyalah sebuah permainan iseng yang penuh ironi.

NEGARA KELAMIN

Ibu memproklamasikan kelamin Ayah sebagai negara baru

Ayah tak berkutik dan menyerah, walau ia marah karena tiada pilihan

Tiada yang salah pada hubungan mereka, tapi Ibu mengira telah menjadi pahlawan ketika berhasil menyesah Ayah di ranjang perkawinan

Menciptakan khayalan terhadap persetubuhan
Menelan lelaki itu mentah-mentah sebagai santapan

Ayah tiada mengira kejantannya bisa menjadi negara, tetapi akhirnya ia terpaksa berbagi wilayah dengan wanita itu

Membuat sempadan dari tirai, membaca proklamasi sendiri-sendiri di tapal batas
Sebenarnya mereka dahulu sama-sama serdadu sebelum perang ini pecah
Sebelum pahlawan menjadi kebutuhan untuk permainan

Ibu memang pernah menaruh dendam pada Ayah, begitu pula Ayah. Mereka pernah berseteru walau tanpa pertumpahan darah.
 Hom pilahom pimpah!

Sejak saat itu negara ini terpecah-pecah,

Negara sakinah hanya iklan saat kampanye dilakukan
Lagi pun sejak itu Ibu dan Ayah merasa tak perlu lagi menikah
Hom pilahom pimpah!

Sebuah puisi dengan gaya yang segar, dengan ironi yang keras, dengan spirit mempermainkan sebuah konsep yang serius tentang negara (tentang batas-batas kekuasaan), yang pada akhirnya hanyalah sekumpulan mitos untuk memperdaya kebodohan. Puisi Negara Kelamin Wisnu Pamungkas menunjukkan sebuah gaya yang khas, karakter yang unik yang memberi harapan sebuah penemuan baru dalam cara ungkap puisi. Tentu saja, saya menyambut gembira pada pencapaian semacam ini, yang sekaligus bukti bahwa penyair Kalimantan Barat memiliki potensi yang tidak boleh diabaikan.

Lain dengan Wisnu Pamungkas, spirit serupa juga dikumandangkan oleh dua penyair yang menggarap tema sama dalam salah satu puisinya, yakni tema tentang Indonesia yang dibidik dari sebuah warung kopi. Ada potret beragam manusia, dengan nasibnya yang berbeda-beda, bersama mimpi dan harapan yang juga berbeda-beda, mereka masing-masing dibedah dalam bangku panjang sebuah kedai kopi. Bayangkanlah sebuah warung kopi adalah representasi dari nasib sebuah negara. //kau akan mendengar suara lebah di sini/bahkan lebih pikuk dari suara lebah//, begitulah puisi Warung Kopi Winny, Jalan Gajahmada; yang ditulis oleh penyair Pay Jarot Sujarwo. Ada segerombolan remaja “harapan bangsa” yang riuh mendiskusikan ponsel terbaru, gaya hidup, dan pacaran, tak peduli pada keluhuran cita-cita; ada pengusaha rakus berceramah dengan dandanan wangi dan perlente; ada pegawai negeri malu-malu dengan baju safari, mereka mangkir dan melihat para pelayan dengan birahi; ada segerombolan penjudi meramal angka dan selalu yakin setiap hari bahwa hari ini akan ada keberuntungan dari nomor-nomor ajaib yang diramal; ada sekelompok wartawan yang saling pamer berita, dan berdiskusi tentang parlemen negara di gedung-gedung negara; ada aktivis LSM, ada yang jatuh cinta, ada yang patah hati, ada rencana-rencana, ada proyek, partai, ada trik-trik para penipu; dan ada para pelacur bergoyang memamerkan tubuhnya. Inilah negara. Inilah tanah air. Dan inilah penyair Pay Jarot Sujarwo yang mememberi kesaksian dalam puisi, bahwa negara hanyalah sebuah warung kopi.

Kemudian Ety Syaifurohyani (seakan-akan memiliki getaran yang serupa), menulis puisi Kopitiam dengan penggalan kalimat berikut: //… kalau pejabat ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat/duduklah di kopitiam/para pejabat yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat …//. Tentu, ”Indonesia” dalam catatan dua penyair yang menuliskannya dalam logika ”warung kopi”, adalah Indonesia yang direkam dalam bayangan besar, dari sebuah sudut kecil bernama: Kalimantan Barat.
Puisi lain adalah puisi yang penuh tenaga seperti kilatan pedang samurai: padat, berkelebat, dan menebas. Inilah gaya yang khas dari Ida Nursanti Basuni. Dua puisinya tentang kengerian dan kesedihan rintihan bumi Kalimantan direkam dengan getaran yang penuh perih, menimbulkan suasana yang asing, sepi, dan menggantung. Puisi dengan judul Pagagan, dan Maktangguk, menandai sebuah gaya yang dalam menghipnotis pembaca lewat tebasannya yang padat.

PEGAGAN
Keranji merah bergumam:
“kelat kebal
segala hama!”
Pegagan meriap

MAKTANGGUK
Sehabis maghrib
pukul setengah tujuh malam
batang limau mengejan
senyap
Angin menerbangkan putik kelapa
lengang gardu jaga
raung genset lesap

Kegesitan Ida Nursanti Basuni dalam merekam respon spontan dari sebuah tempat, melahirkan suasana magis yang menikam. Mengingatkan saya pada sebaris sajak yang ditulis oleh Sitor Situmorang (dan puisinya menjadi sangat terkenal karena memang hanya terdiri dari satu baris), yang berjudul “Malam Lebaran”.

MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
Puisi jenis ini, bagi beberapa penyair, adalah puncak sebuah pencapaian. Tidak mudah menulis sebuah puisi yang hanya berisi inti, dengan pilihan kata yang betul-betul diperhitungkan baik dari segi bunyi, keindahan irama, dan juga sekaligus mewakili makna. Meskipun ia puisi yang teramat pendek, tapi momen-momen puitiklah yang menentukan tingkat keberhasilannya. Momen-momen puitik, tentu tak akan banyak berguna jika tanpa didasari oleh pengalaman dan kepekaan yang lebih. Ida Nursanti Basuni memiliki kepekaan pada bahasa yang lebih, dibandingkan yang lain di dalam buku ini.

Tiga penyair berikutnya adalah Saifun Arif Kojeh, Syazsya Kayung, dan Nano L. Basuki. Nano L. Basuki lebih tertarik pada kesaksiannya terhadap dunia pendidikan, sedangkan Saifun Arif Kojeh dan Syazsya Kayung lebih tertarik pada nyanyian alam yang berisi keperihan lantaran kerusakan akibat ulah manusia. Gambaran-gambaran ketiga penyair ini, juga mewakili gambaran kegelisahan dari pertanyaan yang sama: ke manakah sesungguhnya negeri ini hendak dibawa?

Demikian kesaksian delapan penyair Indonesia yang lahir dan besar dari sudut yang jauh, Kalimantan Barat. Selamat datang di belantara khazanah kesusastraan Indonesia.
- See more at: http://wisnupamungkas.blogspot.com/2014/09/republik-warung-kopi-catatan-kecil-dari.html#sthash.qvu3UNsj.dpuf

Ambang Petang, beranjak dari
dermaga lengang selepas hujan
Langit mengirim kelabu pucat
Angin mengirim dingin
Sungai mengirim keruh
Dan kau mengirim mimpi

Sengaja saya mengutip penggalan puisi murung yang ditulis penyair Amrin Zuraidi Rawansyah sebagai pembuka dari catatan ini. Catatan dari sebuah perayaan antologi sajak delapan penyair dari sebuah sudut Indonesia yang sekian lama tersembunyi dari hiruk-pikuk kesusastraan Indonesia, yakni delapan penyair dari Kalimantan Barat.

Kalimantan Barat, sebuah kawasan luas yang dalam sejarahnya selalu dihubungkan dengan kekayaan hutan, kekayaan bumi, serta manusia-manusia Melayu, Dayak, Tionghoa, dan para pelintas batas Malaysia. Sejauh mata memandang, dari pantai landai Pontianak hingga Pemangkat, dari pancang tengah Singkawang hingga ketinggian Bengkayang, dataran luas ini menyimpan ribuan kisah tentang hamparan karet, lada, kopra, sawit, jeruk, hingga batubara dan ladang emas. Kalimantan Barat, seperti halnya daerah-daerah terluas lainnya di Indonesia, adalah penyangga penting bagi hadirnya Republik Indonesia, penyumbang devisa bagi megahnya Jakarta, hingga penjaga teguh sebagian perbatasan darat Malaysia.

Tentu, hamparan kisah yang tertanam pada bumi yang luas ini, menjadi catatan penting ketika seorang penyair kemudian lahir di sana, dan menuliskan puisi-puisinya. “Puisi tidak lahir dari sebuah kekosongan, sebab penyair selalu mencatat apa yang didengar dan dirasakan,” begitulah setidaknya pengertian yang saya yakini tentang puisi. Seperti kata Rendra dalam puisinya, yang mengatakan bahwa “puisi adalah sebuah kesaksian,” //… Aku mendengar suara/jerit hewan yang terluka/ada orang memanah rembulan/ada anak burung terjatuh dari sarangnya/orang-orang harus dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan bisa terjaga//. Maka kehidupan di bumi Kalimantan Barat adalah juga kehidupan yang subur dengan inspirasi, kehidupan yang subur dengan kegelisahan, dan dengan kesaksian-kesaksian.

Delapan penyair dari kawasan ini, kini mencatatkan kesaksiannya, setelah lama terkubur dan lenyap dari perbincangan kesusastraan Indonesia selama bertahun-tahun. Setidaknya, ketika perbincangan kesusastraan Indonesia dari kawasan Pulau Kalimantan dibicarakan, maka yang muncul adalah dominasi Kalimantan Selatan, lalu disusul dengan Kalimantan Timur. Sedangkan Kalimantan Barat, selalu terdengar sayup-sayup, bahkan hampir tanpa kabar.
Maka dengan terbitnya buku ini, seolah-olah menegaskan kembali bahwa kehadiran sastra di bumi Kalimantan Barat masih ada. 

Delapan penyair yang rata-rata berusia muda, menuliskan kesaksiannya dengan beragam tema yang mengusik. Seperti halnya kutipan penggalan puisi murung “Menuju Kubu” pada awal tulisan, yang merupakan salah satu dari sepuluh puisi yang ditulis oleh penyair Amrin Zuraidi Rawansyah. // … Langit mengirim kelabu pucat/Angin mengirim dingin/Sungai mengirim keruh/Dan kau mengirim mimpi//. Suara lirih ini seakan mewakili doa dan sekaligus harapan bagi bumi kelahiran.

Di belahan lain, rintihan yang lebih gamblang dikumandangkan oleh Wisnu Pamungkas. Puisinya yang diberi judul “Mitos Ruang”, dengan tegas mempertanyakan tanggungjawab dari kesalahan segelintir manusia yang harus ditanggung akibatnya oleh segenap keturunan, menjadi kutukan yang tak lekang dimakan waktu. //Berjuta-juta tahun kemudian/Ruang-ruang dibajak, dikapling-kapling seperti tanah/Diberi patok, diukur ulang/Bagi yang bukan keturunan ular beludak dilarang masuk/Tak seorang pun sadar kalau saat ini tempat itu telah jadi perangkap//. Betapa mengerikan sebuah desain peradaban yang diputuskan berdasarkan keuntungan sesaat, sehingga seorang penyair mentasbihkannya sebagai sebuah kutukan yang abadi. Wisnu Pamungkas telah menggunakan perangkat metafor verbal, akan tetapi menyimpan kecerdasan dalam membangun logika puisi, menjadi sebuah tema yang keras dan satir. Kita lihat misalnya pada puisi Negara Kelamin. Ia dengan enaknya memperolok sejarah, dengan cara mempermainkan logika, sehingga sejarah pada akhirnya hanyalah sebuah permainan iseng yang penuh ironi.

NEGARA KELAMIN

Ibu memproklamasikan kelamin Ayah sebagai negara baru

Ayah tak berkutik dan menyerah, walau ia marah karena tiada pilihan

Tiada yang salah pada hubungan mereka, tapi Ibu mengira telah menjadi pahlawan ketika berhasil menyesah Ayah di ranjang perkawinan

Menciptakan khayalan terhadap persetubuhan
Menelan lelaki itu mentah-mentah sebagai santapan

Ayah tiada mengira kejantannya bisa menjadi negara, tetapi akhirnya ia terpaksa berbagi wilayah dengan wanita itu

Membuat sempadan dari tirai, membaca proklamasi sendiri-sendiri di tapal batas
Sebenarnya mereka dahulu sama-sama serdadu sebelum perang ini pecah
Sebelum pahlawan menjadi kebutuhan untuk permainan

Ibu memang pernah menaruh dendam pada Ayah, begitu pula Ayah. Mereka pernah berseteru walau tanpa pertumpahan darah.
 Hom pilahom pimpah!

Sejak saat itu negara ini terpecah-pecah,

Negara sakinah hanya iklan saat kampanye dilakukan
Lagi pun sejak itu Ibu dan Ayah merasa tak perlu lagi menikah
Hom pilahom pimpah!

Sebuah puisi dengan gaya yang segar, dengan ironi yang keras, dengan spirit mempermainkan sebuah konsep yang serius tentang negara (tentang batas-batas kekuasaan), yang pada akhirnya hanyalah sekumpulan mitos untuk memperdaya kebodohan. Puisi Negara Kelamin Wisnu Pamungkas menunjukkan sebuah gaya yang khas, karakter yang unik yang memberi harapan sebuah penemuan baru dalam cara ungkap puisi. Tentu saja, saya menyambut gembira pada pencapaian semacam ini, yang sekaligus bukti bahwa penyair Kalimantan Barat memiliki potensi yang tidak boleh diabaikan.

Lain dengan Wisnu Pamungkas, spirit serupa juga dikumandangkan oleh dua penyair yang menggarap tema sama dalam salah satu puisinya, yakni tema tentang Indonesia yang dibidik dari sebuah warung kopi. Ada potret beragam manusia, dengan nasibnya yang berbeda-beda, bersama mimpi dan harapan yang juga berbeda-beda, mereka masing-masing dibedah dalam bangku panjang sebuah kedai kopi. Bayangkanlah sebuah warung kopi adalah representasi dari nasib sebuah negara. //kau akan mendengar suara lebah di sini/bahkan lebih pikuk dari suara lebah//, begitulah puisi Warung Kopi Winny, Jalan Gajahmada; yang ditulis oleh penyair Pay Jarot Sujarwo. Ada segerombolan remaja “harapan bangsa” yang riuh mendiskusikan ponsel terbaru, gaya hidup, dan pacaran, tak peduli pada keluhuran cita-cita; ada pengusaha rakus berceramah dengan dandanan wangi dan perlente; ada pegawai negeri malu-malu dengan baju safari, mereka mangkir dan melihat para pelayan dengan birahi; ada segerombolan penjudi meramal angka dan selalu yakin setiap hari bahwa hari ini akan ada keberuntungan dari nomor-nomor ajaib yang diramal; ada sekelompok wartawan yang saling pamer berita, dan berdiskusi tentang parlemen negara di gedung-gedung negara; ada aktivis LSM, ada yang jatuh cinta, ada yang patah hati, ada rencana-rencana, ada proyek, partai, ada trik-trik para penipu; dan ada para pelacur bergoyang memamerkan tubuhnya. Inilah negara. Inilah tanah air. Dan inilah penyair Pay Jarot Sujarwo yang mememberi kesaksian dalam puisi, bahwa negara hanyalah sebuah warung kopi.

Kemudian Ety Syaifurohyani (seakan-akan memiliki getaran yang serupa), menulis puisi Kopitiam dengan penggalan kalimat berikut: //… kalau pejabat ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat/duduklah di kopitiam/para pejabat yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat …//. Tentu, ”Indonesia” dalam catatan dua penyair yang menuliskannya dalam logika ”warung kopi”, adalah Indonesia yang direkam dalam bayangan besar, dari sebuah sudut kecil bernama: Kalimantan Barat.
Puisi lain adalah puisi yang penuh tenaga seperti kilatan pedang samurai: padat, berkelebat, dan menebas. Inilah gaya yang khas dari Ida Nursanti Basuni. Dua puisinya tentang kengerian dan kesedihan rintihan bumi Kalimantan direkam dengan getaran yang penuh perih, menimbulkan suasana yang asing, sepi, dan menggantung. Puisi dengan judul Pagagan, dan Maktangguk, menandai sebuah gaya yang dalam menghipnotis pembaca lewat tebasannya yang padat.

PEGAGAN
Keranji merah bergumam:
“kelat kebal
segala hama!”
Pegagan meriap

MAKTANGGUK
Sehabis maghrib
pukul setengah tujuh malam
batang limau mengejan
senyap
Angin menerbangkan putik kelapa
lengang gardu jaga
raung genset lesap

Kegesitan Ida Nursanti Basuni dalam merekam respon spontan dari sebuah tempat, melahirkan suasana magis yang menikam. Mengingatkan saya pada sebaris sajak yang ditulis oleh Sitor Situmorang (dan puisinya menjadi sangat terkenal karena memang hanya terdiri dari satu baris), yang berjudul “Malam Lebaran”.

MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
Puisi jenis ini, bagi beberapa penyair, adalah puncak sebuah pencapaian. Tidak mudah menulis sebuah puisi yang hanya berisi inti, dengan pilihan kata yang betul-betul diperhitungkan baik dari segi bunyi, keindahan irama, dan juga sekaligus mewakili makna. Meskipun ia puisi yang teramat pendek, tapi momen-momen puitiklah yang menentukan tingkat keberhasilannya. Momen-momen puitik, tentu tak akan banyak berguna jika tanpa didasari oleh pengalaman dan kepekaan yang lebih. Ida Nursanti Basuni memiliki kepekaan pada bahasa yang lebih, dibandingkan yang lain di dalam buku ini.

Tiga penyair berikutnya adalah Saifun Arif Kojeh, Syazsya Kayung, dan Nano L. Basuki. Nano L. Basuki lebih tertarik pada kesaksiannya terhadap dunia pendidikan, sedangkan Saifun Arif Kojeh dan Syazsya Kayung lebih tertarik pada nyanyian alam yang berisi keperihan lantaran kerusakan akibat ulah manusia. Gambaran-gambaran ketiga penyair ini, juga mewakili gambaran kegelisahan dari pertanyaan yang sama: ke manakah sesungguhnya negeri ini hendak dibawa?

Demikian kesaksian delapan penyair Indonesia yang lahir dan besar dari sudut yang jauh, Kalimantan Barat. Selamat datang di belantara khazanah kesusastraan Indonesia.
- See more at: http://wisnupamungkas.blogspot.com/2014/09/republik-warung-kopi-catatan-kecil-dari.html#sthash.qvu3UNsj.dpuf

Ambang Petang, beranjak dari
dermaga lengang selepas hujan
Langit mengirim kelabu pucat
Angin mengirim dingin
Sungai mengirim keruh
Dan kau mengirim mimpi

Sengaja saya mengutip penggalan puisi murung yang ditulis penyair Amrin Zuraidi Rawansyah sebagai pembuka dari catatan ini. Catatan dari sebuah perayaan antologi sajak delapan penyair dari sebuah sudut Indonesia yang sekian lama tersembunyi dari hiruk-pikuk kesusastraan Indonesia, yakni delapan penyair dari Kalimantan Barat.

Kalimantan Barat, sebuah kawasan luas yang dalam sejarahnya selalu dihubungkan dengan kekayaan hutan, kekayaan bumi, serta manusia-manusia Melayu, Dayak, Tionghoa, dan para pelintas batas Malaysia. Sejauh mata memandang, dari pantai landai Pontianak hingga Pemangkat, dari pancang tengah Singkawang hingga ketinggian Bengkayang, dataran luas ini menyimpan ribuan kisah tentang hamparan karet, lada, kopra, sawit, jeruk, hingga batubara dan ladang emas. Kalimantan Barat, seperti halnya daerah-daerah terluas lainnya di Indonesia, adalah penyangga penting bagi hadirnya Republik Indonesia, penyumbang devisa bagi megahnya Jakarta, hingga penjaga teguh sebagian perbatasan darat Malaysia.

Tentu, hamparan kisah yang tertanam pada bumi yang luas ini, menjadi catatan penting ketika seorang penyair kemudian lahir di sana, dan menuliskan puisi-puisinya. “Puisi tidak lahir dari sebuah kekosongan, sebab penyair selalu mencatat apa yang didengar dan dirasakan,” begitulah setidaknya pengertian yang saya yakini tentang puisi. Seperti kata Rendra dalam puisinya, yang mengatakan bahwa “puisi adalah sebuah kesaksian,” //… Aku mendengar suara/jerit hewan yang terluka/ada orang memanah rembulan/ada anak burung terjatuh dari sarangnya/orang-orang harus dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan bisa terjaga//. Maka kehidupan di bumi Kalimantan Barat adalah juga kehidupan yang subur dengan inspirasi, kehidupan yang subur dengan kegelisahan, dan dengan kesaksian-kesaksian.

Delapan penyair dari kawasan ini, kini mencatatkan kesaksiannya, setelah lama terkubur dan lenyap dari perbincangan kesusastraan Indonesia selama bertahun-tahun. Setidaknya, ketika perbincangan kesusastraan Indonesia dari kawasan Pulau Kalimantan dibicarakan, maka yang muncul adalah dominasi Kalimantan Selatan, lalu disusul dengan Kalimantan Timur. Sedangkan Kalimantan Barat, selalu terdengar sayup-sayup, bahkan hampir tanpa kabar.
Maka dengan terbitnya buku ini, seolah-olah menegaskan kembali bahwa kehadiran sastra di bumi Kalimantan Barat masih ada. 

Delapan penyair yang rata-rata berusia muda, menuliskan kesaksiannya dengan beragam tema yang mengusik. Seperti halnya kutipan penggalan puisi murung “Menuju Kubu” pada awal tulisan, yang merupakan salah satu dari sepuluh puisi yang ditulis oleh penyair Amrin Zuraidi Rawansyah. // … Langit mengirim kelabu pucat/Angin mengirim dingin/Sungai mengirim keruh/Dan kau mengirim mimpi//. Suara lirih ini seakan mewakili doa dan sekaligus harapan bagi bumi kelahiran.

Di belahan lain, rintihan yang lebih gamblang dikumandangkan oleh Wisnu Pamungkas. Puisinya yang diberi judul “Mitos Ruang”, dengan tegas mempertanyakan tanggungjawab dari kesalahan segelintir manusia yang harus ditanggung akibatnya oleh segenap keturunan, menjadi kutukan yang tak lekang dimakan waktu. //Berjuta-juta tahun kemudian/Ruang-ruang dibajak, dikapling-kapling seperti tanah/Diberi patok, diukur ulang/Bagi yang bukan keturunan ular beludak dilarang masuk/Tak seorang pun sadar kalau saat ini tempat itu telah jadi perangkap//. Betapa mengerikan sebuah desain peradaban yang diputuskan berdasarkan keuntungan sesaat, sehingga seorang penyair mentasbihkannya sebagai sebuah kutukan yang abadi. Wisnu Pamungkas telah menggunakan perangkat metafor verbal, akan tetapi menyimpan kecerdasan dalam membangun logika puisi, menjadi sebuah tema yang keras dan satir. Kita lihat misalnya pada puisi Negara Kelamin. Ia dengan enaknya memperolok sejarah, dengan cara mempermainkan logika, sehingga sejarah pada akhirnya hanyalah sebuah permainan iseng yang penuh ironi.

NEGARA KELAMIN

Ibu memproklamasikan kelamin Ayah sebagai negara baru

Ayah tak berkutik dan menyerah, walau ia marah karena tiada pilihan

Tiada yang salah pada hubungan mereka, tapi Ibu mengira telah menjadi pahlawan ketika berhasil menyesah Ayah di ranjang perkawinan

Menciptakan khayalan terhadap persetubuhan
Menelan lelaki itu mentah-mentah sebagai santapan

Ayah tiada mengira kejantannya bisa menjadi negara, tetapi akhirnya ia terpaksa berbagi wilayah dengan wanita itu

Membuat sempadan dari tirai, membaca proklamasi sendiri-sendiri di tapal batas
Sebenarnya mereka dahulu sama-sama serdadu sebelum perang ini pecah
Sebelum pahlawan menjadi kebutuhan untuk permainan

Ibu memang pernah menaruh dendam pada Ayah, begitu pula Ayah. Mereka pernah berseteru walau tanpa pertumpahan darah.
 Hom pilahom pimpah!

Sejak saat itu negara ini terpecah-pecah,

Negara sakinah hanya iklan saat kampanye dilakukan
Lagi pun sejak itu Ibu dan Ayah merasa tak perlu lagi menikah
Hom pilahom pimpah!

Sebuah puisi dengan gaya yang segar, dengan ironi yang keras, dengan spirit mempermainkan sebuah konsep yang serius tentang negara (tentang batas-batas kekuasaan), yang pada akhirnya hanyalah sekumpulan mitos untuk memperdaya kebodohan. Puisi Negara Kelamin Wisnu Pamungkas menunjukkan sebuah gaya yang khas, karakter yang unik yang memberi harapan sebuah penemuan baru dalam cara ungkap puisi. Tentu saja, saya menyambut gembira pada pencapaian semacam ini, yang sekaligus bukti bahwa penyair Kalimantan Barat memiliki potensi yang tidak boleh diabaikan.

Lain dengan Wisnu Pamungkas, spirit serupa juga dikumandangkan oleh dua penyair yang menggarap tema sama dalam salah satu puisinya, yakni tema tentang Indonesia yang dibidik dari sebuah warung kopi. Ada potret beragam manusia, dengan nasibnya yang berbeda-beda, bersama mimpi dan harapan yang juga berbeda-beda, mereka masing-masing dibedah dalam bangku panjang sebuah kedai kopi. Bayangkanlah sebuah warung kopi adalah representasi dari nasib sebuah negara. //kau akan mendengar suara lebah di sini/bahkan lebih pikuk dari suara lebah//, begitulah puisi Warung Kopi Winny, Jalan Gajahmada; yang ditulis oleh penyair Pay Jarot Sujarwo. Ada segerombolan remaja “harapan bangsa” yang riuh mendiskusikan ponsel terbaru, gaya hidup, dan pacaran, tak peduli pada keluhuran cita-cita; ada pengusaha rakus berceramah dengan dandanan wangi dan perlente; ada pegawai negeri malu-malu dengan baju safari, mereka mangkir dan melihat para pelayan dengan birahi; ada segerombolan penjudi meramal angka dan selalu yakin setiap hari bahwa hari ini akan ada keberuntungan dari nomor-nomor ajaib yang diramal; ada sekelompok wartawan yang saling pamer berita, dan berdiskusi tentang parlemen negara di gedung-gedung negara; ada aktivis LSM, ada yang jatuh cinta, ada yang patah hati, ada rencana-rencana, ada proyek, partai, ada trik-trik para penipu; dan ada para pelacur bergoyang memamerkan tubuhnya. Inilah negara. Inilah tanah air. Dan inilah penyair Pay Jarot Sujarwo yang mememberi kesaksian dalam puisi, bahwa negara hanyalah sebuah warung kopi.

Kemudian Ety Syaifurohyani (seakan-akan memiliki getaran yang serupa), menulis puisi Kopitiam dengan penggalan kalimat berikut: //… kalau pejabat ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat/duduklah di kopitiam/para pejabat yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat …//. Tentu, ”Indonesia” dalam catatan dua penyair yang menuliskannya dalam logika ”warung kopi”, adalah Indonesia yang direkam dalam bayangan besar, dari sebuah sudut kecil bernama: Kalimantan Barat.
Puisi lain adalah puisi yang penuh tenaga seperti kilatan pedang samurai: padat, berkelebat, dan menebas. Inilah gaya yang khas dari Ida Nursanti Basuni. Dua puisinya tentang kengerian dan kesedihan rintihan bumi Kalimantan direkam dengan getaran yang penuh perih, menimbulkan suasana yang asing, sepi, dan menggantung. Puisi dengan judul Pagagan, dan Maktangguk, menandai sebuah gaya yang dalam menghipnotis pembaca lewat tebasannya yang padat.

PEGAGAN
Keranji merah bergumam:
“kelat kebal
segala hama!”
Pegagan meriap

MAKTANGGUK
Sehabis maghrib
pukul setengah tujuh malam
batang limau mengejan
senyap
Angin menerbangkan putik kelapa
lengang gardu jaga
raung genset lesap

Kegesitan Ida Nursanti Basuni dalam merekam respon spontan dari sebuah tempat, melahirkan suasana magis yang menikam. Mengingatkan saya pada sebaris sajak yang ditulis oleh Sitor Situmorang (dan puisinya menjadi sangat terkenal karena memang hanya terdiri dari satu baris), yang berjudul “Malam Lebaran”.

MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
Puisi jenis ini, bagi beberapa penyair, adalah puncak sebuah pencapaian. Tidak mudah menulis sebuah puisi yang hanya berisi inti, dengan pilihan kata yang betul-betul diperhitungkan baik dari segi bunyi, keindahan irama, dan juga sekaligus mewakili makna. Meskipun ia puisi yang teramat pendek, tapi momen-momen puitiklah yang menentukan tingkat keberhasilannya. Momen-momen puitik, tentu tak akan banyak berguna jika tanpa didasari oleh pengalaman dan kepekaan yang lebih. Ida Nursanti Basuni memiliki kepekaan pada bahasa yang lebih, dibandingkan yang lain di dalam buku ini.

Tiga penyair berikutnya adalah Saifun Arif Kojeh, Syazsya Kayung, dan Nano L. Basuki. Nano L. Basuki lebih tertarik pada kesaksiannya terhadap dunia pendidikan, sedangkan Saifun Arif Kojeh dan Syazsya Kayung lebih tertarik pada nyanyian alam yang berisi keperihan lantaran kerusakan akibat ulah manusia. Gambaran-gambaran ketiga penyair ini, juga mewakili gambaran kegelisahan dari pertanyaan yang sama: ke manakah sesungguhnya negeri ini hendak dibawa?

Demikian kesaksian delapan penyair Indonesia yang lahir dan besar dari sudut yang jauh, Kalimantan Barat. Selamat datang di belantara khazanah kesusastraan Indonesia.
- See more at: http://wisnupamungkas.blogspot.com/2014/09/republik-warung-kopi-catatan-kecil-dari.html#sthash.qvu3UNsj.dpuf

Ambang Petang, beranjak dari
dermaga lengang selepas hujan
Langit mengirim kelabu pucat
Angin mengirim dingin
Sungai mengirim keruh
Dan kau mengirim mimpi

Sengaja saya mengutip penggalan puisi murung yang ditulis penyair Amrin Zuraidi Rawansyah sebagai pembuka dari catatan ini. Catatan dari sebuah perayaan antologi sajak delapan penyair dari sebuah sudut Indonesia yang sekian lama tersembunyi dari hiruk-pikuk kesusastraan Indonesia, yakni delapan penyair dari Kalimantan Barat.

Kalimantan Barat, sebuah kawasan luas yang dalam sejarahnya selalu dihubungkan dengan kekayaan hutan, kekayaan bumi, serta manusia-manusia Melayu, Dayak, Tionghoa, dan para pelintas batas Malaysia. Sejauh mata memandang, dari pantai landai Pontianak hingga Pemangkat, dari pancang tengah Singkawang hingga ketinggian Bengkayang, dataran luas ini menyimpan ribuan kisah tentang hamparan karet, lada, kopra, sawit, jeruk, hingga batubara dan ladang emas. Kalimantan Barat, seperti halnya daerah-daerah terluas lainnya di Indonesia, adalah penyangga penting bagi hadirnya Republik Indonesia, penyumbang devisa bagi megahnya Jakarta, hingga penjaga teguh sebagian perbatasan darat Malaysia.

Tentu, hamparan kisah yang tertanam pada bumi yang luas ini, menjadi catatan penting ketika seorang penyair kemudian lahir di sana, dan menuliskan puisi-puisinya. “Puisi tidak lahir dari sebuah kekosongan, sebab penyair selalu mencatat apa yang didengar dan dirasakan,” begitulah setidaknya pengertian yang saya yakini tentang puisi. Seperti kata Rendra dalam puisinya, yang mengatakan bahwa “puisi adalah sebuah kesaksian,” //… Aku mendengar suara/jerit hewan yang terluka/ada orang memanah rembulan/ada anak burung terjatuh dari sarangnya/orang-orang harus dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan bisa terjaga//. Maka kehidupan di bumi Kalimantan Barat adalah juga kehidupan yang subur dengan inspirasi, kehidupan yang subur dengan kegelisahan, dan dengan kesaksian-kesaksian.

Delapan penyair dari kawasan ini, kini mencatatkan kesaksiannya, setelah lama terkubur dan lenyap dari perbincangan kesusastraan Indonesia selama bertahun-tahun. Setidaknya, ketika perbincangan kesusastraan Indonesia dari kawasan Pulau Kalimantan dibicarakan, maka yang muncul adalah dominasi Kalimantan Selatan, lalu disusul dengan Kalimantan Timur. Sedangkan Kalimantan Barat, selalu terdengar sayup-sayup, bahkan hampir tanpa kabar.
Maka dengan terbitnya buku ini, seolah-olah menegaskan kembali bahwa kehadiran sastra di bumi Kalimantan Barat masih ada. 

Delapan penyair yang rata-rata berusia muda, menuliskan kesaksiannya dengan beragam tema yang mengusik. Seperti halnya kutipan penggalan puisi murung “Menuju Kubu” pada awal tulisan, yang merupakan salah satu dari sepuluh puisi yang ditulis oleh penyair Amrin Zuraidi Rawansyah. // … Langit mengirim kelabu pucat/Angin mengirim dingin/Sungai mengirim keruh/Dan kau mengirim mimpi//. Suara lirih ini seakan mewakili doa dan sekaligus harapan bagi bumi kelahiran.

Di belahan lain, rintihan yang lebih gamblang dikumandangkan oleh Wisnu Pamungkas. Puisinya yang diberi judul “Mitos Ruang”, dengan tegas mempertanyakan tanggungjawab dari kesalahan segelintir manusia yang harus ditanggung akibatnya oleh segenap keturunan, menjadi kutukan yang tak lekang dimakan waktu. //Berjuta-juta tahun kemudian/Ruang-ruang dibajak, dikapling-kapling seperti tanah/Diberi patok, diukur ulang/Bagi yang bukan keturunan ular beludak dilarang masuk/Tak seorang pun sadar kalau saat ini tempat itu telah jadi perangkap//. Betapa mengerikan sebuah desain peradaban yang diputuskan berdasarkan keuntungan sesaat, sehingga seorang penyair mentasbihkannya sebagai sebuah kutukan yang abadi. Wisnu Pamungkas telah menggunakan perangkat metafor verbal, akan tetapi menyimpan kecerdasan dalam membangun logika puisi, menjadi sebuah tema yang keras dan satir. Kita lihat misalnya pada puisi Negara Kelamin. Ia dengan enaknya memperolok sejarah, dengan cara mempermainkan logika, sehingga sejarah pada akhirnya hanyalah sebuah permainan iseng yang penuh ironi.

NEGARA KELAMIN

Ibu memproklamasikan kelamin Ayah sebagai negara baru

Ayah tak berkutik dan menyerah, walau ia marah karena tiada pilihan

Tiada yang salah pada hubungan mereka, tapi Ibu mengira telah menjadi pahlawan ketika berhasil menyesah Ayah di ranjang perkawinan

Menciptakan khayalan terhadap persetubuhan
Menelan lelaki itu mentah-mentah sebagai santapan

Ayah tiada mengira kejantannya bisa menjadi negara, tetapi akhirnya ia terpaksa berbagi wilayah dengan wanita itu

Membuat sempadan dari tirai, membaca proklamasi sendiri-sendiri di tapal batas
Sebenarnya mereka dahulu sama-sama serdadu sebelum perang ini pecah
Sebelum pahlawan menjadi kebutuhan untuk permainan

Ibu memang pernah menaruh dendam pada Ayah, begitu pula Ayah. Mereka pernah berseteru walau tanpa pertumpahan darah.
 Hom pilahom pimpah!

Sejak saat itu negara ini terpecah-pecah,

Negara sakinah hanya iklan saat kampanye dilakukan
Lagi pun sejak itu Ibu dan Ayah merasa tak perlu lagi menikah
Hom pilahom pimpah!

Sebuah puisi dengan gaya yang segar, dengan ironi yang keras, dengan spirit mempermainkan sebuah konsep yang serius tentang negara (tentang batas-batas kekuasaan), yang pada akhirnya hanyalah sekumpulan mitos untuk memperdaya kebodohan. Puisi Negara Kelamin Wisnu Pamungkas menunjukkan sebuah gaya yang khas, karakter yang unik yang memberi harapan sebuah penemuan baru dalam cara ungkap puisi. Tentu saja, saya menyambut gembira pada pencapaian semacam ini, yang sekaligus bukti bahwa penyair Kalimantan Barat memiliki potensi yang tidak boleh diabaikan.

Lain dengan Wisnu Pamungkas, spirit serupa juga dikumandangkan oleh dua penyair yang menggarap tema sama dalam salah satu puisinya, yakni tema tentang Indonesia yang dibidik dari sebuah warung kopi. Ada potret beragam manusia, dengan nasibnya yang berbeda-beda, bersama mimpi dan harapan yang juga berbeda-beda, mereka masing-masing dibedah dalam bangku panjang sebuah kedai kopi. Bayangkanlah sebuah warung kopi adalah representasi dari nasib sebuah negara. //kau akan mendengar suara lebah di sini/bahkan lebih pikuk dari suara lebah//, begitulah puisi Warung Kopi Winny, Jalan Gajahmada; yang ditulis oleh penyair Pay Jarot Sujarwo. Ada segerombolan remaja “harapan bangsa” yang riuh mendiskusikan ponsel terbaru, gaya hidup, dan pacaran, tak peduli pada keluhuran cita-cita; ada pengusaha rakus berceramah dengan dandanan wangi dan perlente; ada pegawai negeri malu-malu dengan baju safari, mereka mangkir dan melihat para pelayan dengan birahi; ada segerombolan penjudi meramal angka dan selalu yakin setiap hari bahwa hari ini akan ada keberuntungan dari nomor-nomor ajaib yang diramal; ada sekelompok wartawan yang saling pamer berita, dan berdiskusi tentang parlemen negara di gedung-gedung negara; ada aktivis LSM, ada yang jatuh cinta, ada yang patah hati, ada rencana-rencana, ada proyek, partai, ada trik-trik para penipu; dan ada para pelacur bergoyang memamerkan tubuhnya. Inilah negara. Inilah tanah air. Dan inilah penyair Pay Jarot Sujarwo yang mememberi kesaksian dalam puisi, bahwa negara hanyalah sebuah warung kopi.

Kemudian Ety Syaifurohyani (seakan-akan memiliki getaran yang serupa), menulis puisi Kopitiam dengan penggalan kalimat berikut: //… kalau pejabat ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat/duduklah di kopitiam/para pejabat yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat …//. Tentu, ”Indonesia” dalam catatan dua penyair yang menuliskannya dalam logika ”warung kopi”, adalah Indonesia yang direkam dalam bayangan besar, dari sebuah sudut kecil bernama: Kalimantan Barat.
Puisi lain adalah puisi yang penuh tenaga seperti kilatan pedang samurai: padat, berkelebat, dan menebas. Inilah gaya yang khas dari Ida Nursanti Basuni. Dua puisinya tentang kengerian dan kesedihan rintihan bumi Kalimantan direkam dengan getaran yang penuh perih, menimbulkan suasana yang asing, sepi, dan menggantung. Puisi dengan judul Pagagan, dan Maktangguk, menandai sebuah gaya yang dalam menghipnotis pembaca lewat tebasannya yang padat.

PEGAGAN
Keranji merah bergumam:
“kelat kebal
segala hama!”
Pegagan meriap

MAKTANGGUK
Sehabis maghrib
pukul setengah tujuh malam
batang limau mengejan
senyap
Angin menerbangkan putik kelapa
lengang gardu jaga
raung genset lesap

Kegesitan Ida Nursanti Basuni dalam merekam respon spontan dari sebuah tempat, melahirkan suasana magis yang menikam. Mengingatkan saya pada sebaris sajak yang ditulis oleh Sitor Situmorang (dan puisinya menjadi sangat terkenal karena memang hanya terdiri dari satu baris), yang berjudul “Malam Lebaran”.

MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
Puisi jenis ini, bagi beberapa penyair, adalah puncak sebuah pencapaian. Tidak mudah menulis sebuah puisi yang hanya berisi inti, dengan pilihan kata yang betul-betul diperhitungkan baik dari segi bunyi, keindahan irama, dan juga sekaligus mewakili makna. Meskipun ia puisi yang teramat pendek, tapi momen-momen puitiklah yang menentukan tingkat keberhasilannya. Momen-momen puitik, tentu tak akan banyak berguna jika tanpa didasari oleh pengalaman dan kepekaan yang lebih. Ida Nursanti Basuni memiliki kepekaan pada bahasa yang lebih, dibandingkan yang lain di dalam buku ini.

Tiga penyair berikutnya adalah Saifun Arif Kojeh, Syazsya Kayung, dan Nano L. Basuki. Nano L. Basuki lebih tertarik pada kesaksiannya terhadap dunia pendidikan, sedangkan Saifun Arif Kojeh dan Syazsya Kayung lebih tertarik pada nyanyian alam yang berisi keperihan lantaran kerusakan akibat ulah manusia. Gambaran-gambaran ketiga penyair ini, juga mewakili gambaran kegelisahan dari pertanyaan yang sama: ke manakah sesungguhnya negeri ini hendak dibawa?

Demikian kesaksian delapan penyair Indonesia yang lahir dan besar dari sudut yang jauh, Kalimantan Barat. Selamat datang di belantara khazanah kesusastraan Indonesia.
- See more at: http://wisnupamungkas.blogspot.com/2014/09/republik-warung-kopi-catatan-kecil-dari.html#sthash.qvu3UNsj.dpuf