KORUPSI ialah kejahatan yang pemberantasannya tidak boleh biasa-biasa
saja karena dua alasan. Pertama, korupsi telah menguras dan merugikan
keuangan negara. Kedua, korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat.
Dua alasan itulah yang mendasari
negeri ini tidak pernah lelah memerangi korupsi. Keberhasilan
membumihanguskan korupsi akan menentukan kesuksesan dalam pengentasan
masyarakat dari kemiskinan, pembangunan berkelanjutan, penguatan
sendi-sendi demokrasi, serta upaya mewujudkan masyarakat adil dan
makmur.
Perang melawan korupsi memerlukan langkah-langkah
pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan
berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat
internasional. Dalam perspektif itulah, pada hari ini, kita ikut
merayakan Hari Antikorupsi Internasional.
Harus jujur dikatakan,
kita memperingati Hari Antikorupsi Internasional dengan penuh
keprihatinan. Setidaknya ada tiga alasan keprihatinan. Pertama, sejauh
ini Indonesia masih berada dalam deretan negara paling korup.
Transparency
International menyebut Indonesia berada di peringkat 107 dari 175
negara dengan indeks persepsi korupsi 34. Posisi negeri ini jauh di
bawah Denmark yang menduduki peringkat pertama sebagai negara paling
bersih dari korupsi dengan indeks persepsi korupsi 92. Itu artinya
Indonesia masih megap-megap memerangi korupsi.
Keprihatinan
kedua, ini yang membuat kita mengelus dada, masih ada perlakuan
istimewa, bahkan sangat istimewa, terhadap koruptor. Ada partai politik
yang tidak malu-malu lagi menjanjikan perlindungan hukum terhadap kader
mereka yang terlibat korupsi. Perlindungan hukum itu justru dibarterkan
dengan kewajiban memilih calon ketua umum.
Tidak hanya itu.
Perlakuan istimewa lainnya ialah para terpidana korupsi difasilitasi
untuk mengikuti pendidikan pascasarjana di penjara. Kendati sudah
dianulir pekan lalu, kebijakan itu tentu saja melukai rasa keadilan
masyarakat.
Masih ada keprihatinan ketiga, yaitu korupsi telah
didistribusikan dari pusat ke daerah mengikuti kebijakan otonomi daerah.
Distribusi itu berjalan mulus sehingga terdapat 60% kepala daerah
tersangkut kasus hukum dan 80% di antara mereka tersangkut kasus
korupsi.
Perang melawan korupsi hingga kini masih sebatas perang
kata-kata karena tidak tecermin dalam putusan pengadilan. Berdasarkan
riset ICW, sebagian besar koruptor hanya dihukum dua tahun oleh
pengadilan. Lama hukuman itu pun masih dikurangi remisi dan masa
tahanan.
Keprihatinan kita yang paling mendalam tentu saja ialah
kejahatan korupsi abadi meski pemerintahan negeri ini hadir silih
berganti. Fakta itu seakan membenarkan silogisme bahwa tidak ada seni
yang lebih cepat dipelajari suatu pemerintahan daripada seni belajar
menguras uang dari saku rakyatnya.
Dalam pemerintahan yang korup,
uang dikuras dari saku rakyat dalam bentuk pajak demi membiayai
kemewahan hidup segelintir elite. Kemewahan itulah yang ditolak
pemerintahan Presiden Joko widodo.
Menolak hedonisme di kalangan
birokrasi belumlah cukup. Presiden Jokowi mestinya berada di garda
terdepan dalam membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat, mengusung
gerakan sosial serta membangun budaya antikorupsi bagi masyarakat secara
terstruktur dan masif.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar