Kamis, 11 Desember 2014

Membangun Kultur Antikorups

KORUPSI ialah kejahatan yang pemberantasannya tidak boleh biasa-biasa saja karena dua alasan. Pertama, korupsi telah menguras dan merugikan keuangan negara. Kedua, korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Dua alasan itulah yang mendasari negeri ini tidak pernah lelah memerangi korupsi. Keberhasilan membumihanguskan korupsi akan menentukan kesuksesan dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan, pembangunan berkelanjutan, penguatan sendi-sendi demokrasi, serta upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Perang melawan korupsi memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam perspektif itulah, pada hari ini, kita ikut merayakan Hari Antikorupsi Internasional.

Harus jujur dikatakan, kita memperingati Hari Antikorupsi Internasional dengan penuh keprihatinan. Setidaknya ada tiga alasan keprihatinan. Pertama, sejauh ini Indonesia masih berada dalam deretan negara paling korup.

Transparency International menyebut Indonesia berada di peringkat 107 dari 175 negara dengan indeks persepsi korupsi 34. Posisi negeri ini jauh di bawah Denmark yang menduduki peringkat pertama sebagai negara paling bersih dari korupsi dengan indeks persepsi korupsi 92. Itu artinya Indonesia masih megap-megap memerangi korupsi.

Keprihatinan kedua, ini yang membuat kita mengelus dada, masih ada perlakuan istimewa, bahkan sangat istimewa, terhadap koruptor. Ada partai politik yang tidak malu-malu lagi menjanjikan perlindungan hukum terhadap kader mereka yang terlibat korupsi. Perlindungan hukum itu justru dibarterkan dengan kewajiban memilih calon ketua umum.

Tidak hanya itu. Perlakuan istimewa lainnya ialah para terpidana korupsi difasilitasi untuk mengikuti pendidikan pascasarjana di penjara. Kendati sudah dianulir pekan lalu, kebijakan itu tentu saja melukai rasa keadilan masyarakat.

Masih ada keprihatinan ketiga, yaitu korupsi telah didistribusikan dari pusat ke daerah mengikuti kebijakan otonomi daerah. Distribusi itu berjalan mulus sehingga terdapat 60% kepala daerah tersangkut kasus hukum dan 80% di antara mereka tersangkut kasus korupsi.

Perang melawan korupsi hingga kini masih sebatas perang kata-kata karena tidak tecermin dalam putusan pengadilan. Berdasarkan riset ICW, sebagian besar koruptor hanya dihukum dua tahun oleh pengadilan. Lama hukuman itu pun masih dikurangi remisi dan masa tahanan.

Keprihatinan kita yang paling mendalam tentu saja ialah kejahatan korupsi abadi meski pemerintahan negeri ini hadir silih berganti. Fakta itu seakan membenarkan silogisme bahwa tidak ada seni yang lebih cepat dipelajari suatu pemerintahan daripada seni belajar menguras uang dari saku rakyatnya.

Dalam pemerintahan yang korup, uang dikuras dari saku rakyat dalam bentuk pajak demi membiayai kemewahan hidup segelintir elite. Kemewahan itulah yang ditolak pemerintahan Presiden Joko widodo.

Menolak hedonisme di kalangan birokrasi belumlah cukup. Presiden Jokowi mestinya berada di garda terdepan dalam membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat, mengusung gerakan sosial serta membangun budaya antikorupsi bagi masyarakat secara terstruktur dan masif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar