.
Salatiga, LiputanIslam.com
— Arfi’an Fuadi dan M. Arie Kurniawan, kakak beradik ini berhasil
menjadi juara pertama dalam 3D Printing Challenge yang diadakan General
Electric tahun ini, mengalahkan sekitar 700 peserta dari 56 negara.
Bahkan mereka berhasil mengalahkan peserta dengan gelar Ph.D dari Swedia
yang menyabet peringkat kedua dan insinyur lulusan University of Oxford
yang meraih juara ketiga.
Jpnn yang mengunjungi kediaman
mereka, melakukan wawancara terkait keberhasilan dua remaja ini memulai
“karirnya” di bidang design engineering. Mereka bekerja dari rumahnya,
dengan tiga unit komputer. Rupanya, di ruangan kecil itulah Arfi
–panggilan Arfi’an Fuadi– bersama sang adik M. Arie Kurniawan dan dua
karyawannya mengeksekusi order design engineering dari berbagai negara.
Kiprah dua bersaudara itu di dunia
rancang teknik internasional tak perlu diragukan lagi. Iapun bercerita
tentang keberhasilannya memenangkan kompetisi tiga dimensi (3D) design
engineering untuk jet engine bracket (penggantung mesin jet pesawat)
yang diselenggarakan General Electric (GE) Amerika Serikat.
”Lomba ini membuat alat penggantung mesin
jet seringan mungkin dengan tetap mempertahankan kekuatan angkut mesin
jet seberat 9.500 pon. Saya berhasil mengurangi berat dari 2 kilogram
lebih menjadi 327 gram saja. Berkurang 84 persen bobotnya,” ungkap Arie
ketika ditemui di rumah kakaknya, Senin (4/8).
Yang membanggakan, Arie mengalahkan para
pakar design engineering yang tingkat pendidikannya jauh di atas
dirinya. Misalnya, juara kedua diraih seorang PhD dari Swedia yang
bekerja di Swedish Air Force. Sedangkan yang nomor tiga lulusan Oxford
University yang kini bekerja di Airbus. ”Padahal, saya hanya lulusan SMK
Teknik Mekanik Otomotif,” jelas Arie.
Sekilas memang tak masuk akal. Bagaimana
bisa seorang lulusan SMK yang belum pernah mendapatkan materi pendidikan
CAD (computer aided design) mampu mengalahkan doktor dan mahasiswa S-3
yang bekerja di perusahaan pembuat pesawat? CAD adalah program komputer
untuk menggambar suatu produk atau bagian dari suatu produk.
Rupanya, ilmu utak-atik desain teknik itu
diperoleh dan didalami Arie dan kakaknya, Arfi, secara otodidak. Hampir
setiap hari keduanya melakukan berbagai percobaan menggunakan program
di komputernya. Mereka juga belajar dari referensi-referensi yang
berserak di berbagai situs tentang design engineering.
”Terus terang dulu komputer saja kami
tidak punya. Kami harus belajar komputer di rumah saudara. Lama-lama
kami jadi menguasai. Bahkan, para tetangga yang mau beli komputer,
sampai kami yang disuruh ke toko untuk memilihkan,” kenang Arfi.
Sebelum menjadi profesional di bidang
desain teknik, dua putra keluarga A. Sya’roni itu ternyata harus banting
tulang bekerja serabutan membantu ekonomi keluarga. Arfi yang lulusan
SMK Negeri 7 Semarang pada 2005 pernah bekerja sebagai tukang cetak
foto, di bengkel sepeda motor, sampai jualan susu keliling kampung.
Sang adik juga tak jauh berbeda, jadi
tukang menurunkan pasir dari truk sampai tukang cuci motor. ”Kami
menyadari, penghasilan orang tua kami pas-pasan. Mau tidak mau kami
harus bekerja apa saja asal halal,” tutur Arfi.
Baru pada 2009 Arfi bisa menyalurkan
bakat dan minatnya di bidang program komputer. Pada 9 Desember tahun itu
dia memberanikan diri mendirikan perusahaan di bidang design
engineering. Namanya D-Tech Engineering Salatiga. Saksi bisu pendirian
perusahaan tersebut adalah komputer AMD 3000+. Komputer itu dibeli dari
uang urunan keluarga dan gaji Arfi saat masih bekerja di PT Pos
Indonesia.
”Gaji saya waktu itu sekitar Rp 700 ribu
sebagai penjaga malam kantor pos. Lalu ada sisa uang beasiswa adik dan
dibantu bapak, jadilah saya bisa membeli komputer ini,” kenangnya.
Setelah berdiskusi dengan sang adik, Arfi
pun menetapkan bidang 3D design engineering sebagai fokus garapan
mereka. Sebab, dia yakin bidang itu booming dalam beberapa tahun ke
depan. ”Kami pun langsung belajar secara otodidak aplikasi CAD,
perhitungan material dengan FEA (finite element analysis), dan lain-lain,” jelasnya.
Tak lama kemudian, D-Tech menerima order
pertama. Setelah mencari di situs freelance, mereka mendapat pesanan
desain jarum untuk alat ukur dari pengusaha Jerman. Si pengusaha
bersedia membayar USD 10 per set. Sedangkan Arfi hanya mampu mengerjakan
desain tiga set jarum selama dua minggu.
”Kalau sekarang mungkin bisa sepuluh
menit jadi. Dulu memang lama karena kalau mau download atau kirim e-mail
harus ke warnet dulu. Modem kami dulu hanya punya kecepatan 2 kbps.
Hanya bisa untuk lihat e-mail.”
Di luar dugaan, garapan D-Tech menuai
apresiasi dari si pemesan. Sampai-sampai si pemesan bersedia menambah
USD 5 dari kesepakatan harga awal. ”Kami sangat senang mendapat
apresiasi seperti itu. Dan itulah yang memotivasi kami untuk terus maju
dan berkembang,” tegas Arfi.
Sejak itu order terus mengalir tak pernah
sepi. Model desain yang dipesan pun makin beragam. Mulai kandang sapi
yang dirakit tanpa paku yang dipesan orang Selandia Baru sampai desain
pesawat penyebar pupuk yang dipesan perusahaan Amerika Serikat.
”Pernah ada yang minta desain mobil lama
GT40 dengan handling yang sama. Untuk proyek itu, si pemilik sampai
harus membongkar komponen mobilnya dan difoto satu-satu untuk kami
teliti. Jadi, kami yang menentukan mesin yang harus dibeli, sasisnya
model bagaimana dan seterusnya. Hasilnya, kata si pemesan, 95 persen
mirip,” jelasnya.
Selama lima tahun ini, D-Tech telah
mengerjakan sedikitnya 150 proyek desain. Tentu saja hasil finansial
yang diperoleh pun signifikan. Mereka bisa membangun rumah orang tuanya
serta membeli mobil. Tapi, di sisi lain, capaian yang cukup mencolok itu
sempat mengundang cibiran dan tanda tanya para tetangga.
”Kami dicurigai memelihara tuyul.
Soalnya, pekerjaannya tidak jelas, hanya di rumah, tapi kok bisa
menghasilkan uang banyak. Mereka tidak tahu pekerjaan dan prestasi yang
kami peroleh,” cerita Arfi seraya tertawa.
Sayangnya, dari 150 proyek itu, hanya
satu yang dipesan klien dalam negeri. ”Satu-satunya klien Indonesia
adalah dari sebuah perusahaan cat. Mereka beberapa kali memesan desain
mesin pencampur cat,” lanjutnya.
Meski punya segudang pengalaman dan
diakui berbagai perusahaan internasional, Arfi dan Arie masih belum bisa
berkiprah di desain teknik Indonesia. Penyebabnya, mereka hanya
berijazah SMK.
”Kalau ditanya apakah tidak ingin
membantu perusahaan nasional, kami tentu mau. Tapi, apakah mereka mau?
Di Indonesia kan yang ditanya pertama kali lulusan apa dan dari
universitas mana,” ujarnya.
Stigma ”hanya berijazah SMK” ditambah
sistem pendidikan Indonesia yang dinilai kurang adil itulah yang ikut
mengandaskan keinginan Arie melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 di
Teknik Elektro Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Arie tidak bisa
masuk jurusan itu karena hanya lulusan SMK mekanik otomotif.
”Saya ingin kuliah di jurusan itu karena
ingin memperdalam ilmu elektro. Kalau mesin saya bisa belajar sendiri.
Tapi, saya ditolak karena kata pihak Undip jurusannya tidak sesuai
dengan ijazah saya. Padahal, lulusan SMA yang sebenarnya juga tidak
sesuai diterima. Ini kan tidak adil namanya,” cetus Arie.
Meski ditolak, Arie tidak kecewa. Bersama
sang kakak, dia tetap ingin menunjukkan prestasi yang mengharumkan nama
bangsa. Dan itu telah dibuktikan dengan menjuarai kompetisi design
engineering di Amerika yang diikuti para ahli dari berbagai negara.
Selain itu, mereka tak segan-segan menularkan ilmunya kepada anak-anak
muda agar melek teknologi 3D design engineering.
”Ada beberapa anak SMK yang datang ke
kami untuk belajar. Sekarang ada yang sudah kerja di bidang itu. Ada
juga yang bakal ikut kompetisi Asian Skills Competition sebagai peserta
termuda,” jelasnya.
Mereka juga punya keinginan mengembangkan
teknologi energi terbarukan. Salah satunya dengan mengembangkan desain
pembangkit listrik tenaga angin. ”Kami bekerja sama dengan anak-anak SMK
untuk mengembangkan biodiesel dari minyak jelantah. Lalu, Mas Ricky
Elson (pembuat mobil listrik yang dibawa Dahlan Iskan dari Jepang, Red)
pernah menghubungi lewat Facebook, ingin menjalin kerja sama dengan
kami. Tentu saja kami terima,” ungkapnya.
Dengan semua upaya itu, mereka punya satu
impian, yakni mengembangkan sumber daya lokal Salatiga untuk menjadikan
kota kecil itu pusat pengembangan manufaktur teknologi kelas dunia.
Layaknya Silicon Valley di San Francisco, Amerika Serikat. ”Kami ingin
membuktikan bahwa Indonesia bisa menjadi pusat industri manufaktur
dunia. Terlebih lagi, teknologi 3D printing bakal menjadi tulang
punggung industri masa depan. Itulah kenapa 3D design engineering sangat
penting,” tandasnya. (ba/jpnn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar