Kamis, 11 Desember 2014

Janji Hampa Perlindungan Hukum

HUKUM ialah kreasi tertinggi manusia yang bersifat memaksa, mengatur apa yang boleh dan apa yang dilarang. Dengan hukum, manusia diharapkan dapat memuliakan kehidupan serta memperbaiki dan mempertinggi derajat peradaban. Lewat fungsinya itu, kita semestinya menempatkan hukum dalam posisi terhormat.

Celakanya, ada saja rupa-rupa upaya yang justru ingin membuat hukum jatuh ke titik terendah. Salah satunya dengan menjadikan hukum sebagai alat transaksi politik.

Kasus bocornya rekaman mirip suara Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin terkait dengan Munas Partai Golkar di Bali beberapa waktu lalu menambah fakta empiris betapa upaya membarterkan hukum dengan politik nyata adanya.

Dalam rekaman terungkap, suara yang diduga Aziz Syamsuddin itu menjanjikan perlindungan hukum kepada para pemilik suara di Munas Bali asalkan mereka memilih Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. Anggota Tim Presidium Penyelamat Partai Golkar Agun Gunandjar menduga Aziz menjanjikan perlindungan hukum dalam posisinya sebagai Ketua Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum.

Janji perlindungan hukum seperti terungkap dari rekaman tersebut sekurang-kurangnya mengindikasikan tiga hal. Pertama, banyak kader partai bersangkutan terjerat kasus hukum terutama korupsi.

Kedua, seorang pejabat publik mencoba menggunakan posisinya untuk menghalang-halangi penegakan hukum. Ketiga, terjadi politik transaksional yang hendak membarter hukum dengan politik.

Bila itu sungguh-sungguh terjadi, kita tentu mengecamnya. Di tengah upaya penegakan hukum dan perang melawan korupsi, banyak pejabat publik yang justru mencoba menghalang-halangi upaya tegaknya hukum tersebut. Bukannya memberi teladan, mereka malah menghadirkan contoh buruk.

Selama ini kita menyaksikan transaksi politik dengan uang sebagai alat tukar. Kini kita mengkhawatirkan transaksi politik dengan hukum sebagai alat tukarnya. Hukum dijadikan komoditas untuk mendapatkan dukungan suara dalam meraih kekuasaan politik.

Ini mungkin gejala baru. Mungkin juga ia gejala lama, tetapi baru terungkap secara gamblang saat ini. Namun, baru ataupun lama, gejala itu tidak bisa kita terima, tidak boleh kita biarkan.

Bila dibiarkan, praktik menukar hukum dengan politik akan membuat penegakan hukum tumpul. Pada gilirannya praktik tersebut menyuburkan korupsi dan pelanggaran hukum.

Yang paling celaka yang kelak terjadi ialah adanya orang-orang yang merasa hebat, yang bisa berbuat sekehendak mereka, seolah bisa membebaskan para koruptor dari jerat hukum.

Kita berharap para penegak hukum emoh hukum dibarter dengan politik. Penegak hukum harus tetap menempatkan hukum di posisi terhormat, sebagai panglima.

Negara mesti membuktikan bahwa perlindungan hukum bagi mereka yang melanggar hukum hanya janji hampa. Kita berharap negara konsisten menindak siapa pun yang terbukti melanggar hukum.

Pada saat yang bersamaan, kita juga harus tetap memuliakan politik dengan menjauhkannya dari tangan-tangan kotor yang menjadikan hukum sebagai alat barter politik.

Dengan begitu, politik dan hukum akan berjalan dalam jalur yang benar dan menjadi bagian sangat penting bagi terwujudnya keadaban bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar