HUKUM ialah kreasi tertinggi manusia yang bersifat memaksa,
mengatur apa yang boleh dan apa yang dilarang. Dengan hukum, manusia
diharapkan dapat memuliakan kehidupan serta memperbaiki dan mempertinggi
derajat peradaban. Lewat fungsinya itu, kita semestinya menempatkan
hukum dalam posisi terhormat.
Celakanya, ada saja rupa-rupa upaya
yang justru ingin membuat hukum jatuh ke titik terendah. Salah satunya
dengan menjadikan hukum sebagai alat transaksi politik.
Kasus
bocornya rekaman mirip suara Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin
terkait dengan Munas Partai Golkar di Bali beberapa waktu lalu menambah
fakta empiris betapa upaya membarterkan hukum dengan politik nyata
adanya.
Dalam rekaman terungkap, suara yang diduga Aziz
Syamsuddin itu menjanjikan perlindungan hukum kepada para pemilik suara
di Munas Bali asalkan mereka memilih Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum
DPP Partai Golkar. Anggota Tim Presidium Penyelamat Partai Golkar Agun
Gunandjar menduga Aziz menjanjikan perlindungan hukum dalam posisinya
sebagai Ketua Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum.
Janji
perlindungan hukum seperti terungkap dari rekaman tersebut
sekurang-kurangnya mengindikasikan tiga hal. Pertama, banyak kader
partai bersangkutan terjerat kasus hukum terutama korupsi.
Kedua,
seorang pejabat publik mencoba menggunakan posisinya untuk
menghalang-halangi penegakan hukum. Ketiga, terjadi politik
transaksional yang hendak membarter hukum dengan politik.
Bila
itu sungguh-sungguh terjadi, kita tentu mengecamnya. Di tengah upaya
penegakan hukum dan perang melawan korupsi, banyak pejabat publik yang
justru mencoba menghalang-halangi upaya tegaknya hukum tersebut.
Bukannya memberi teladan, mereka malah menghadirkan contoh buruk.
Selama
ini kita menyaksikan transaksi politik dengan uang sebagai alat tukar.
Kini kita mengkhawatirkan transaksi politik dengan hukum sebagai alat
tukarnya. Hukum dijadikan komoditas untuk mendapatkan dukungan suara
dalam meraih kekuasaan politik.
Ini mungkin gejala baru. Mungkin
juga ia gejala lama, tetapi baru terungkap secara gamblang saat ini.
Namun, baru ataupun lama, gejala itu tidak bisa kita terima, tidak boleh
kita biarkan.
Bila dibiarkan, praktik menukar hukum dengan
politik akan membuat penegakan hukum tumpul. Pada gilirannya praktik
tersebut menyuburkan korupsi dan pelanggaran hukum.
Yang paling
celaka yang kelak terjadi ialah adanya orang-orang yang merasa hebat,
yang bisa berbuat sekehendak mereka, seolah bisa membebaskan para
koruptor dari jerat hukum.
Kita berharap para penegak hukum emoh hukum dibarter dengan politik. Penegak hukum harus tetap menempatkan hukum di posisi terhormat, sebagai panglima.
Negara
mesti membuktikan bahwa perlindungan hukum bagi mereka yang melanggar
hukum hanya janji hampa. Kita berharap negara konsisten menindak siapa
pun yang terbukti melanggar hukum.
Pada saat yang bersamaan, kita
juga harus tetap memuliakan politik dengan menjauhkannya dari
tangan-tangan kotor yang menjadikan hukum sebagai alat barter politik.
Dengan
begitu, politik dan hukum akan berjalan dalam jalur yang benar dan
menjadi bagian sangat penting bagi terwujudnya keadaban bangsa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar