Sebagai alumni Jurusan Filsafat Politik
obrolan semacam ini tentu menarik bagi saya. Saya ingin membaca
bagaimana Jokowi di mata sopir taksi yang—meski bukan sebuah jaminan,
barangkali mewakili kebanyakan suara orang sepertinya. Dari cerita pagi
hari itu, rupanya ia punya pengalaman bagaimana saudaranya yang sakit
keras dan harus menjalani operasi sangat terbantu dengan Program Kartu
Jakarta Sehat yang ditelurkan Jokowi. “benar-benar tidak bayar, mas.
Alhamdulillah sudah sehat. Andaikata waktu itu harus bayar biaya
operasi, dari mana kami mendapat uang sebanyak itu? katanya.
Fakta ini menginsafkan saya tentang
Jokowi, bagaimana jasa mantan walikota Solo itu dirasakan betul oleh
masyarakat yang membutuhkan. Anda boleh membenci Jokowi dengan segudang
teori konspirasi yang diarahkan kepada Jokowi entah dengan alasan apa,
tapi apa yang diceritakan oleh sopir tadi adalah fakta yang harus Anda
akui.
Saya katakan menginsafkan diri, karena
sebaran informasi tentang Jokowi, khususnya di jagad maya sangat liar.
Akun anonim paling populer di jagad twitter, @triomacan2000 baru-baru
ini “membongkar” kebusukan Jokowi, konspirasi di belakangnya, para
pemilik modal pendukungnya, dst. Sertamerta twit akun “wikileaks
Indonesia” itu di-broadcast kemana-mana untuk mendemarketisasi si “Anak Ajaib” tersebut oleh para Jokowi haters. Sebaran informasi ini sedikit banyak tentu memengaruhi persepsi publik, termasuk saya.
Banyak yang kehilangan kritisisme
terhadap akun anonim yang acap dilaporkan ke Kepolisian itu. Padahal
kicauan-kicauan akun tersebut tak ubahnya seperti beritaIsrailiyat dalam literatur Islam, yakni kabar-kabar yang tidak perlu ditolak seluruhnya, tetapi juga tidak perlu dibenarkan seluruhnya.
Selain perbincangan dengan sopir taksi
yang sudah seperti pengamat politik itu, saya punya pengalaman lain
tentang Jokowi, yaitu pada acara Buka Puasa Hari Anak Nasional Bersama
Presiden yang digelar di Gedung SME Tower Ramadhan lalu. Saya lihat
sendiri bagaimana ketika Presiden bersama sejumlah menteri dan para
pejabat, termasuk Jokowi, keluar ruangan utama selepas acara, terdengar
orang-orang mengelu-elukan Jokowi. Jokowi dielu-elukan oleh hadirin, dan
Anda tahu, Gubernur DKI itu lebih populer –tentu saja—dari pada para
Menteri KIB II.
Ekspresi masyarakat semacam ini tentu
tidak lahir dari ruang hampa. Program Jokowi dirasa oleh mereka dan
media massa ‘menggoreng’ itu. Pertanyaan apakah “media yang memberitakan
sosok yang sedang dicintai masyarakat”, atau justru sebaliknya “media
membesarkan Jokowi sehingga ia ia disukai di masyarakat” adalah
persoalan lain. Kita hanya melihat bahwa masyarakat suka terhadap
Jokowi, dan fenomena tersebut eksis. Bahkan sebuah artikel berjudul a Wanted Badly: a Malaysian Jokowi di The Malay Mail,
Malaysia, Februari silam menggambarkan betapa rakyat Malaysia pun rindu
pemimpin selayak Jokowi dengan mengutip kisah lelaki kotak-kotak itu
dalam The Economist dan The Wall Street Journal. Anda membenci Jokowi karena apa?
Program Jokowi Original
Program Jokowi memang original. Mulai
dari program kecil seperti perayaan tahun baru sepanjang jalan
Sudirman-Thamrin yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya itu–padahal
sangat antusias disambut masyarakat–, atau pameran produk lokal di Monas
untuk mengakomodir pedagang kecil sebagai sindiran kepada Jakarta Fair
yang dinilainya terlalu mementingkan pengusaha besar, atau penertiban
PKL di jalursemrawut carut marut Tanah Abang (bayangkan lima
tahun Foke pimpin Jakarta Tanah Abang makin macet saja, Jokowi bereskan
hanya dalam hitungan bulan), atau penyediaan kursi taman sepanjang
jalur utama Sudirman Thamrin yang membuat jalur “Orchad-nya Indonesia”
itu kian menarik dan bermanfaat untuk sekadar melepas lelah, hingga
program blusukan yang membuatnya lebih paham lapangan dan kian dicintai
rakyat Jakarta. Adakah pejabat DKI sebelumnya yang turun ke
gorong-gorong untuk melihat saluran air berfungsi baik atau tidak,
menyusur kampong-kampung di pinggiran sungai yang aromanya tidak sedap
itu untuk berfikir bagaimana mendirikan hunian yang lebih layak bagi
mereka? kita menilai apa yang tampak, bukan?
Jangan salahkan media jika terus
menguntit Jokowi. Memang banyak kepala daerah lain yang hebat luar biasa
di luar Jakarta, kita bersyukur dan apresiasi beliau-beliau yg
terhormat dan mengabdikan diri untuk membangun daerahnya. Kita bisa
sebut Gubernur NTB, Tuan Guru Haji Bajang yang begitu dicintai oleh
Rakyat NTB, atau Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang bekerja dalam
senyap karena sepi liputan media padahal sudah raih lebih dari 130
penghargaan nasional dan internasional atas prestasi-prestasinya, atau
Dr. Samsul Ashar Sp.PD, walikota
Kediri yang yang juga dokter itu, atau Nur Mahmudi Ismail, mantan
Menteri Kehutanan yang menjadi Walikota Depok yang kerap digoyang oleh
kubu oposisinya. Mereka tetap orang-orang hebat sekalipun sebagian
membencinya.
Tapi tidak seperti pada Jokowi, media tidak mem-blow up mereka.
Tentu saja sebagian pihak boleh curiga bahwa media dibayar oleh tim
milik Jokowi sebagai ancar-ancar menuju kursi RI I. Itulah mengapa media
selalu memberitakan yang positif-positif tentang Jokowi dan
menenggelamkan berita tentang tangisan korban penggusuran. Tudingan
“media dibayar” ini sekalipun tidak pernah dibuktikan, (selain karena su’uzhan
alias buruk sangka) tentu bukan berarti tudingan ini keliru. Maksud
saya, bisajadi Jokowi benar membayar media untuk kepentingan politiknya,
dan itu lazim di dunia politik meski tidak harus dibenarkan.
Saya sendiri entah kenapa menaruh “buruk
sangka” serupa sekalipun saya tidak bisa membuktikannya. Tetapi kita
tentu harus paham pula bahwa rakyat rupanya pintar memilah berita di
media. Bukankah raja-raja media semacam Aburizal Bakrie, Surya Paloh,
dan Harry Tanoe tingkat elektabilitasnya tetap saja rendah sekalipun
sudah “gila-gilaan” beriklan di media-media milik mereka? Mengapa Jokowi
yang tidak punya TV justru berada di tingkat teratas sebagai kandidat
presiden 2014? Hal ini menunjukan bahwa penguasaan terhadap media bukan
satu-satunya faktor, ada X Factor yang menjadikan Gubernur yang
acap naik pesawat kelas ekonomi ini erat dalam dekapan publik. Tentu
saja, adalah naïf menilai seorang politisi besar tidak punya tim media
terlebih di era Teknologi Informasi sekarang ini.
Di era kemajuan teknologi informasi,
dimana berita-berita menyebar secara liar, tentu prestasi dari
pemerintah harus sebanyak mungkin dipublish sebagai pengimbang, agar
publik tidak salah persepsi yang pada akhirnya mendelegitimasi
kekuasaannya. Jika media mainstream seringkali menyerang pemerintah,
bukankah lazim pemerintah memberi semacam counter opinion?
Justru menurut saya, jika pun benar
Jokowi membayar media untuk pencitraan dirinya, justru itu adalah
kelebihan Jokowi sebagai politisi. Ia paham betul bagaimana menjaga
citra dirinya di mata publik. Di alam demokrasi, politisi memang tidak
hanya dituntut sekadar bekerja namun sepi liputan media. Bagaimanapun
media tetap dibutuhkan sebagai alat propaganda terutama di negeri yang
menerapkan demokrasi, dimana pemimpin diseleksi langsung oleh rakyat
melalui pemilu. Oleh karena itulah para pemimpin dari partai manapun
membutuhkan media. Mereka yang tidak pegang media konvensional semacam
TV dan koran biasanya ramai-ramai membuat media propaganda di media
online, memberitakan apa yang sepi di media konvensional. Hal ini karena
media, mengutip Adian Husaini (2002), mampu memengaruhi persepsi publik
lewat apa yang ia sebut sebagai “Fakta Semu”, sebuah fakta yang
merupakan hasil konstruksi media massa, atau dalam bahasa Ibnu Hamad
(2004), Pakar Komunikasi UI dalam buku kerennya itu sebagai “Konstruksi
Realitas Politik dalam Media Massa. Atau yang lebih berat, sebagaimana
diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1967) sebagai Social Construction of Reality,
yaitu realitas menjadi memiliki makna ketika realitas tersebut
dikonstuksi dan dimaknakan secara subjektif sehingga memantapkan
realitas secara objektif. Dan, jika kita berpandangan bahwa Jokowi
menguasai media, artinya kita memahami bahwa Jokowi lagi-lagi unggul
dalam hal ini.
Jokowi Capres (?)
Masyarakat kita itu memang latah. Jika
ada tokoh besar buru-buru masyarakat kita angkat tokoh tersebut jadi
calon presiden. Tentu kita ingat bagaimana ketika Aa Gym masih dalam
masa kejayaannya, beliau dielu-elukan media dan berkali-kali nama da’i
sufi tersebut masuk sebagai nominasi capres sekalipun beliau
berkali-kali pula menolaknya. Dalam sebuah seminar yang saya hadiri
waktu itu, Denny JA, pemilik Lembaga Survei paling moncer saat itu,
sampai geleng kepala melihat fenomena latah tersebut.
Fenomena Jokowi hari ini juga sama.
Posisi Jokowi umpama SBY pada 2004, dipandang sebagai Satrio Piningit
yang layak menjadi presiden. Jokowi merajai seluruh survei sebagai
capres paling populer. Bayangkan “si Anak Emas” itu bahkan lebih populer
dari “bunda”nya sendiri. Bahkan, seperti Fahri Hamzah katakan terhadap
SBY di 2009, saking populernya, “berpasangan dengan Sandal Jepit pun,
dia akan menang”. Artinya tidak penting siapa yang akan menjadi
pendamping Jokowi jika ia benar-benar maju sebagai capres. Berpasangan
dengan tukang cimol pun, rasanya Jokowi tidak terbendung.
Dalam rakenas PDIP kemarin, spanduk dukungan utk pencapresan Jokowi membentang di luar agenda panitia. Tentu hal ini mereduksi trah Bung Karno
yang selama ini digadang-gadang sebagai penerus politik dinasti PDIP.
Jokowi memang membuat kalkulasi politik jadi berubah. Semua orang yang
berhasrat menjadi presiden mau tidak mau harus memperhitungkan Jokowi.
Membaca peta survei, Yunarto Wijaya, Analis politik Charta Politika
bilang, kemungkinannya tiga skenario : pertama,berharap PDI-P tidak ajukan Jokowi agar kekuatan semua pihak kembali lagi pada titik nol,” kedua, kompetitor Jokowi bisa berkoalisi dengan Jokowi, entah bagaimana negosiasinya, dan ketiga,
pada titik ekstrem, kubu non-Jokowi bersatu padu untuk menjegal Jokowi
secara bersama-sama agar kekuatan Jokowi bisa diimbangi. ”Mereka pasti
akan berhitung dengan variabel Jokowi ini, entah melawan, menjatuhkan,
atau bergabung,” kata Yunarto.
PDIP sadar betul potensi Jokowi sebagai vote getter merupakan juru selamat di
tengah begitu banyak kader partai ini yang terlibat kasus demi kasus
mulai korupsi hingga asusila. Namun PDIP masih ragu untuk majukan Jokowi
sebagai Capres, entah karena egoisme politik dinasti atau pertimbangan
lain, Rakernas PDIP beberapa waktu lalu juga tidak bicarakan soal
capres. Tampaknya PDIP sengaja membiarkan isu “Jokowi Capres” itu tetap
menggelinding untuk raup suara sebanyak mungkin pada Pemilu legislatif
esok. Logikanya, pendukung pencapresan Jokowi tentu akan memilih PDIP
sebagai satu-satunya kendaraan yang shahih bagi kader taat
semacam Jokowi utk melaju sebagai Capres. Perkara apakah nanti PDIP
majukan Jokowi sebagai Presiden atau tidak selepas pemilu legislatif
itu, itu urusan belakangan.
Baiknya Tetap di Jakarta
Jokowi memang tidak punya kemampuan orasi luar biasa seperti Obama yang disebut oleh Philip Collins, penulis andal dari koran Times Inggris itu dengan sebutan“Dia menunjukkan kekuatan brilian dalam berpidato” sehingga memengaruhi persepsi khalayak, tetapi Gubernur ndeso itu punya ketulusan sejak masih menjadi walikota Solo.
Namun demikian, sebagai orang yang setiap
hari merasakan macetnya Jakarta, dimana 6 jam per hari saya habiskan di
jalan pulang-pergi dari dan ke kantor, dan setiap tahun macetnya
bertambah 15 menit, saya berharap Jokowi masih disini. Menuntaskan
amanahnya dulu sebagai Gubernur yang diletakkan di pundaknya oleh rakyat
Jakarta. Bertanggung jawab atas amanah itu dan tidak dia tingalkan.
Benahi Ibu Kota, jika sukses bolehlah melaju Capres. Saya kira 2019
tidak terlalu lama bagi Jokowi maju sebagai presiden. Kita berikan
kesempatan kepada Jokowi untuk mengkhatamkan diri memimpin Jakarta
sebagaimana amanah tersebut dibebankan kepadanya, sebelum memimpin
Indonesia.
Saya paham betul bahwa Jokowi besar dalam
nuansa Jawa, adat istiadatnya yang kejawen dan besar dalam partai yang
kejawen pula. Itulah mengapa kita tidak bisa memaksanya untuk bicara
tentang agama apalagi bicara fiqh berwudhu yang benar dan semacamnya.
Pengagum musik cadas tersebut memang besar dalam lingkungan kultural
jawa. Tentu keompok-kelompok Islam tidak bisa memaksanya untuk bekerja
melebihi kapasitas dirinya itu, apalagi mengolok-olok cara Jokowi
beribadah. Namun demikian tentu lebih baik dan arif jika Jokowi lebih
berhati-hati ketika melontarkan pendapat berkaitan dengan symbol-simbol
keagamaan. Misalnya pelarangan takbir keliling menjelang Idul Fitri,
namun merayakan tahun baru besar-besaran di Sepanjang Sudirman-Thamrin,
hal tersebut akan menjadi bola liar yang bergerak kesana kemari
menghantam balai kota. Juga bagaimana ketika Jokowi bicara tentang
kondisi Mesir yang oleh sebagian kalangan terdengar menyakitkan. Baiknya
Jokowi memulai pendekatan, belajar dan memahami akar budaya dan
kearifan lokal masyakarat Jakarta yang sedari awal memang identik dengan
kultur Islami.
Kepada para Jokowi lovers, tentu
tidak ada manusia yang suci, menjadikan Jokowi selayak Hercules, si
manusia setengah dewa, seperti kerap kita jumpai puja pujinya di sosial
media, tentu bukan langkah yang benar. Tidak ada “The Holy Man” selepas
para Nabi, tidak ada manusia ma’shum yang suci dari dosa. Jokowi
punya kekurangan, kepemimpinannya di Solo juga belum mampu menjadikan
Solo sebagai kota yang maju, tingkat kemiskinan di Solo masih tinggi,
kemudian ditinggalkan Jokowike Jakarta karena perintah partai, apakah
akan terulang kembali di DKI dengan meninggalkan PR yang belum selesai?
Dan kepada Jokowi haters, dengan
alasan apa pun rekan-rekan membencinya, kita tahu bahwa kebenaran itu
dapat kita temui dimana saja. Bukan ekslusif milik satu kelompok
tertentu, seolah tokoh-tokoh di luar kelompoknya, sehebat apapun,
sebesar apapun, dan sebaik apapun diberitakan media, adalah salah. Pasti
media tersebut dibayar. Pasti ada konspirasi di belakang ini, dst.
Saya khawatir cara pandang semacam itu
sejatinya lahir dari kesempitan kita berfikir, atau mungkin–semoga
tidak—dari kedengkian terhadap kebesaran orang lain. Dia tampak
sedemikian besar, alih-alih kemudian kita meningkatkan prestasi agar
kita pun terbangun menjadi besar pula, kita malah sibuk
mengecil-kecilkannya.
Sejatinya kalimat ini adalah kalimat
indah: “al-Hikmatu Dhollatul Mu’min, Fa AinaWajadaha Fahuwa Ahaqqu Biha”
kebenaran adalah serakan yang hilang dari kaum beriman, dimana saja ia
jumpai kebenaran itu, ia berhak untuk menerimanya..
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar